It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Part 29
Sudah lima hari aku tidak melihat Tora, dan selama itu juga aku menjaga jarak dari Sony. Aku mendapat kabar dari Doni kalau Tora minta izin karena pekerjaannya yang mengharuskan dia ke luat kota, dan hari ini sudah mulai masuk lagi. Ada rasa rindu kepadanya, namun jika sudah teringat kembali akan perbuatannya membuat rasa rindu itu berubah menjadi benci. Dan pagi ini rasa benci itu kembali muncul karena kehadiran Sony yang tiba-tiba ada di hadapanku. Entah apa yang dia inginkan dariku. Mau meledekku kah, karena dia telah berhasil merebut Tora dariku. Cih, aku tak menyangka bahwa dia seorang yang licik. Atau aku yang terlalu berlebihan menyikapi masalah antara kami bertiga. Sudahlah, yang jelas hubunganku dengan Tora sudah berakhir walaupun sangat menyakitkan bagiku.
"Kak, aku mau bicara mengenai hubunganku dengan Kak Tora." Aku sedikit kaget mendengar penuturan Sony. Untuk apa dia membahas hubungan mereka denganku.
"Gak ada yang perlu kita bicarakan." Bicara dingin, aku melangkah pergi meninggalkan Sony yang sudah menghalangi jalanku.
"Tapi kak, kita harus membicarakannya. Supaya kakak tidak—"
"Apa?!"
Sony mematung saat aku membentak dan memotong ucapannya. Aku tidak perduli dan tak mau kasihan melihat perubahan wajahnya yang terlihat sedih. Aku tahu dia hanya pura-pura.
"Kamu mau mengatakan, agar aku tidak mengganggu hubungan kalian? Begitu?"
"Bukan begitu kak—"
"Ck, menyebalkan." Usai mengatakan itu aku berlalu pergi meninggalkan Sony dan mengabaikan panggilannya.
Di dalam kelas, aku membanting tas dengan kasar ke atas meja. Membuat beberapa teman yang sedang asyik bercengkrama menghentikan aktifitas mereka dan menoleh ke arahku. Mengabaikan tatapan mereka, aku menyandarkan tubuh di tempat duduk dan memejamkan mata guna menenangkan pikiran. Kurasakan sebuah tangan mengusap kepalaku. Spontan aku membuka mata dan menoleh ke samping. Aku bernapas lega, orang itu ternyata Andre. Dia tersenyum menenangkan, lalu duduk di sebelahku.
"Lu bisa bicara nanti." Aku hanya mengangguk dan kembali memejamkan mata. Kali ini kurasakan Andre mengacak rambutku perlahan.
* * *
Ketika bel pulang berbunyi, aku buru-buru memasukan peralatan belajar ke dalam tas. Sama seperti teman-teman yang lain. Begitu guru kami keluar kelas, aku ikutan keluar berjalan di belakang beliau setelah berpamitan kepada Andre untuk duluan. Sampai di gerbang sekolah, aku langsung menaiki ojek yang sudah kupesan lewat sebuah aplikasi online. Aku tak mau bertemu Tora. Tepatnya tidak mau melihat kemesraan dirinya bersama Sony. Mengingatnya saja sudah membuat hatiku sakit.
Setelah membayar ongkos ojek, aku mempercepat langkah agar segera sampai di kamar. Menyapa mama yang berada di dapur sekedarnya, aku berbegas menuju kamar. Segera saja kubuka pakaian seragam dan hanya menyisakan celana boxer dan singlet saja ketika sudah berada di dalam kamar. Aku mengeluarkan makanan dan minuman yang sempat kubeli tadi dari dalam tas. Membukanya dan langsung menyantapnya sambil menghidupkan televisi. Mengabaikan ponsel yang berbunyi, tetap lanjut menghabiskan makanan yang di hadapanku hingga rasa kantuk menyerang.
Sebelum naik ke atas tempat tidur, aku melihat sebentar siapa yang sudah meneleponku tadi. Lima belas panggilan tak terjawab dari Tora. Untuk apa dia menghubungiku lagi, padahal hubungan kami sudah berakhir. Tiba-tiba airmataku jatuh tanpa bisa kutahan. Mengingat kembali semua perlakuan manis darinya, walaupun dia jarang bicara, dan aku yang menyebutnya 'cowok aneh' karena dia terus saja memandangku secara terang-terangan, dan memukuli atau bersikap kasar terhadap cowok-cowok yang dekat denganki tanpa peduli apakah orang itu temanku atau orang yang memiliki ketertarikan padaku. Mengingat itu semua sebuah senyum tipis terukir dibibirku. Miris.
Sekarang tidak ada lagi cowok yang begitu posesif terhadapku. Dia sudah memberikan hatinya kepada cowok lain. Sesak. Dadaku terasa sesak. Begitu mudahnya dia perpaling dan menyakitiku sampai sedalam ini.
Tok tok tok!
"Andri! Kamu gak makan sayang?"
Suara mama menghentikan lamunanku. Dengan cepat aku menghapus airmata, walaupun tak terlihat oleh mama. Lalu menjawab pertanyaannya, "Sudah, ma. Sekarang Andri mau tidur!"
Segera kutarik selimut sampai kepala dan menutup telinga. Tidak mau mendengar apapun lagi dari mama di luar sana.
**
Aku membuka mata memandang sekelilingku yang sudah gelap. Sepertinya aku ketiduran sampai malam. Saat beranjak bangun perutku berbunyi dengan keras. Kuraba tempat tidur mencari ponsel, melihat sudah pukul berapa sekarang. Ternyata sudah pukul delapan. Dengan malas aku berjalan ke kamar mandi setelah menghidupkan lampu. Mencuci muka, kemudian turun ke bawah mencari makanan. Dibawah terlihat sepi. Hanya suara televisi yang sayup-sayup terdengar dari ruang keluarga. Mengabaikan suara tersebut aku terus melangkah ke dapur.
"Kamu sudah bangun rupanya," suara kak Hendra tiba-tiba mengatakanku yang sedang mengambil nasi beserta lauknya.
"Kakak ngagetin aja," dengusku kesal sambil menenangkan diri dan menarik sebuah kursi untuk duduk.
"Makan di sebelah aja, temenin kakak nonton." Kak Hendra menarik tanganku dan aku hanya pasrah saja.
Kak Hendra sudah tidak pakai kursi roda lagi. Tetapinya mulai membuahkan hasil. Sekarang dia memakai dua tongkat untuk membantunya berjalan.
"Mama, sama papa kemana, kak?" tanyaku karena rumah begitu sepi.
"Mereka pergi ke acara ulang tahun salah satu rekan bisnis papa." Aku hanya ber 'oo' ria mendengar jawaban kak Hendra. Sedangkan kak Inka yang kutahu tadi pagi berangkat ke luar kota.
.
.
Tidak seperti pagi-pagi yang lalu, hari ini aku berangkat dengan malas, termasuk mengikuti pelajaran hari ini. Sudah dua mata pelajaran berlalu, tapi rasanya jam istirahat masih terasa lama. Rasanya ingin cepat-cepat lulus supaya tidak bertemu lagi dengan Tora. Aku jadi ingat ketika dulu aku ingin masuk ke universitas yang sama dengan Tora agar kami selalu bersama. Tapi, sekarang keadaannya sudah berbeda, dan aku berharap tidak satu universitas dengannya. Ah, pikiranku jadi ngelantur kemana-mana.
"Hei! Lu, jangan melamun terus kerjaannya, sayang," Andre yang mencubit pipiku gemas.
"Ck, lu rese!" omelku begitu lepas dari cubitannya.
"I love you too, babe. Muaach." dia malah menggoda dan mencium tanganku. Aku hanya menghembuskan napas kasar dan melipat tangan di depan dada. Dia terkekeh, lalu mengacak rambutku pelan.
“Ortu gue mau berangkat ke Korea selama dua minggu. Bagaimana kalau lu nginap di rumah gue? Tar gue bakal minta nyokap nelpon ortu lu biar dikasih izin.”
Aku memikirkan perkataan Andre barusan. Mungkin ada baiknya juga aku tinggal di sana untuk sementara sampai orangtuanya kembali. Lagi pula aku juga sedang gak nyaman di rumah. Sikap mama sudah mulai berbeda kepadaku, suka memberikan tatapan curiga tiap kali aku pulang agak telat.
“Hmm, baiklah. Gue mau.” putusku setelah terdiam beberapa saat.
“Bagus. Kalau gitu mari kita ke kantin. Gue sudah lapar dari tadi,” ucapnya seraya merangkul bahuku.
Kami berjalan beriringan menuju kantin. Saat melewati kelas Tora, aku melirik sekilas ke dalam berharap dia ada di dalam. Tidak ada. Ah, kenapa aku masih saja memikirkan dan kepo tentang dia. Dengan cepat kualihkan pandangan ke arah lain agar Andre tak curiga kalau aku melirik ke sana. Di kantin pun aku tidak menemukan keberadaan dirinya.
.
.
.
Akhirnya aku berada di rumah Andre. Kemarin orangtua Andre ke rumah meminta izin ke mama dan papa, dan aku sangat senang waktu papa memberikan izin. Aku tidak banyak membawa pakaian, karena memang beberapa pakaianku ada di sini. Tidak hanya pakaianku saja yang ada di rumah Andre, pakaian Doni dan Reno pun ada.
Selesai membereskan pakaian ke dalam lemari, aku keluar kamar menemui Andre di ruang keluarga. Ternyata sudah ada dua sahabatku yang lain di sini. Mereka tengah asyik tertawa terbahak-bahak menonton film yang mungkin koleksi terbaru Andre. Aku duduk di sebelah Doni, kemudian menyadarkan kepala ke pundaknya. Menerima suapan kripik kentang dari Doni, aku memfokuskan diri ikut menonton. Namun, karena tidak mengerti dengan jalan ceritanya aku memilih membuka akun facebook yang sudah lama nggak kubuka. Beberapa pemberitahuan aku cek. Dan yang terakhir kotak pesan. Membalas pesan dari teman-teman facebook, dan satu pesan dari orang yang tidak kukenal.
[Hai! Aku pengagummu. Boleh kenalan?]
[Boleh. Kamu siapa?] baru saja aku merespon pesannya, dia langsung membalas pesanku.
[Oh, akhirnya kamu membalas pesanku, setelah sekian lama ☺️. Kenalkan namaku Vitto. Aku tahu kamu dari grup yaoi***]
Rupanya dia salah satu member di grup yaoi yang aku masuki.
[Oh, salam kenal juga.]
[To the point aja. Waktu melihat interaksi kamu dengan member lain. Aku jadi suka sama kamu]
Aku melebarkan mata membaca balasannya. Seseorang yang baru aku kenal bilang suka ke aku. Aku memperlihatkan isi obrolanku bersama Vitto ke Doni. Dia membacanya dengan seksama. Lalu…
“Jangan main-main, nanti Tora—”
“Kami sudah putus, jika lu lupa.” aku memotong ucapannya dengan ketus. Kudengar dia hanya menghela napas kasar.
Aku kembali membalas pesan Vitto. Kami mengobrol banyak sampai dia menceritakan tentang pendidikannya yang ternyata seorang mahasiswa kedokteran tingkat tiga.
.
.
.
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun, bersiap untuk berangkat sekolah. Namun kulihat Andre masih tidur dengan lelap, begitupun dengan Doni dan Reno. Ya, kami tidur bareng di kamar Andre yang cukup besar. Langsung saja aku ambil bantal dan memukulkannya ke tubuh mereka. Membuat mereka gelagapan dan segera terduduk bangum. Aku memerintahkan mereka untuk mandi, sementara aku berjalan keluar kamar menyiapkan sarapan untuk kami.
Sesampainya di sekolah aku merasa jantungku berdetak dengan kencang. Berusaha menenangkan detak jantung, aku terus berjalan melewati lorong sekolah menuju kelas hingga aku melihat dia berdiri di depan pintu kelas. Tanpa menoleh aku mengabaikan dia. Namun pergelangan tanganku dicekal.
“Kamu menginap di rumah Andre?”
“Bukan urusanmu.”
“Jawab aku,” tegasnya masih mencekal tanganku.
“Kamu bukan siap—”
“Berhenti bicara seperti itu!” nada bicaranya sedikit meninggi membuatku tersentak.
“Sampai kapan pun aku tidak akan pernah menerima keputusanmu. Camkan itu!” sambungnya penuh tekanan, kemudian pergi dari hadapanku. Meninggalkanku yang mematung mendengar kata-katanya.
“Terserah, kamu mau terima atau tidak. Aku tak peduli!” seruku penuh emosi.
Aku membanting tas dengan kesal ke atas meja. Mengabaikan Andre dan Doni yang mendengarkan percakapan kami tadi. Beruntung hanya kami bertiga yang baru memasuki kelas, sehingga aku tidak harus menarik perhatian teman-teman yang lain lagi seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Mengobrol dengan kami sebentar, Doni beranjak pergi ke kelasnya. Sebelumnya dia dan Andre membujukku untuk balikan lagi dengan Tora. Tentu saja aku menolak. Hei, buat apa aku kembali padanya sementara sudah memiliki kekasih lagi.
Memilih membuka ponsel, mencari kesibukan berharap rasa kesalku hilang. Dan baru saja layar kunci terbuka, aku sudah mendapatkan sebuah pesan masuk dari Vitto. Seketika moodku kembali baik saat berbalas pesan dengan cowok yang baru kukenal ini. Selain ramah, Vitto juga suka bercanda. Tak jarang dia menyelipkan guyonan-guyonan kecil kedalam percakapan kami, membuatku tertawa kecil membaca pesannya. Tak kupedulikan Andre yang mencoba melirik kepo ke ponselku. Semalam aku sudah memberitahunya dan yang lain tentang Vitto, jadi aku tak perlu lagi menjelaskan apapun padanya saat ini. Tak terasa guru pada pelajaran pertama sudah memasuki kelas. Dengan senyuman aku menyimak pelajaran yang dengan baik. Semoga saja sampai pulang sekolah nanti tidak ada yang memicu emosiku lagi.
.
***
.
Tak terasa sudah dua minggu aku berteman dengan Vitto, dan kesedihanku sedikit mulai berkurang walaupun terkadang aku masih teringat akan Tora dan merasa kangen. Tapi aku sudah mulai bisa mengendalikan rasa tersebut. Aku juga sudah jarang bertemu dengannya, karena setiap jam istirahat aku lebih memilih berdiam diri didalam kelas membiarkan Andre ke kantin sendirian. Soal makanan, aku tiap hari bawa bekal. Sebenarnya Andre juga membawa bekal yang kubuatkan untuk kami berdua, tapi dia memilih ke kantin karena dia ingin membaginya dengan yang, begitu alasannya. Aku tak peduli dengan alasannya itu, yang terpenting aku tidak bertemu lagi dengan Tora, pun Sony.
[Malam, dek. Lagi ngapain?] Aku melihat sebuah pesan masuk dari Vitto, segera saja membalasnya.
[Malam, kak. Lagi belajar, biasa persiapan ujian nanti.] tidak lama dia membalas pesanku.
[Waduh, kakak ganggu dong 🙏]
[Enggak kok. Bentar lagi juga selesai.]
[Baiklah. Kakak mau ngajak kamu ketemuan besok, mau gak?]
Aku tersenyum senang begitu membaca balasannya, tak menyangka kalau dia mengajak untuk ketemuan. Berpikr sejenak sebelum membalas pesan dari Vitto. Mungkin ada baiknya aku mencoba dekat dengan orang yang baru tiga minggu ini kukenal. Walaupun hanya sebagai teman.
[Hmm, baiklah. Kebetulan aku gak ada acara.]
[Yes! Kalau gitu besok sore di Blue Cafe. Kamu tau kan tempatnya?]
Ah aku tahu tempat tersebut. Itu adalah Cafe yang lagi digandrungi anak-anak muda sekarang. Aku pun menyetujui ajakannya.
[Oke. Pukul empat?]
[Sip. Kalau gitu kamu lanjutin gih belajarnya. Kakak gak enak ganggu kamu lama-lama.]
Aku membalas lagi pesan Vitto, tidak lupa mengucapkan selamat malam padanya.
.
.
.
Sekarang masih pagi. Kulirik Andre di sebelahku dia masih tidur dengan nyaman. Hari minggu memang harinya untuk bermalas-malasan ditambah lagi beneran hari kedepan adalah minggu tenang bagi kami semua murid kelas tiga. Ya, sebentar lagi kami akan ujian akhir, jadi pihak sekolah meliburkan kami selama satu minggu untuk belajar. Aku bangkit dari tempat tidur menuju kamar mandi, setelah itu menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Kenapa aku masih di rumah Andre, itu karena orangtuanya masih di Korea hingga saat ini. Lusa baru mereka pulang ke Jakarta. Dan kalaupun orangtua Andre sudah pulang nanti, aku tetap tidak mau pulang ke rumah dulu sampai menjelang ujian nanti.
.
.
Aku dan Andre menghabiskan waktu dengan menonton dan bermain game sampai siang dan tak lupa juga ada Doni dan Reno yang datang pagi-pagi saat aku tengah asyik membuat sarapan tadi. Semenjak aku menginap di rumag Andre, dua orang itu juga sering datang, bahkan terkadang mereka juga menginap dan membuat rumah jadi tambah ramai. Dan aku sangat senang kami bisa berkumpul seperti ini. Sudah pukul dua belas, aku sudah bersiap-siap di kamar. Aku juga sudah memberitahu Andre kalau siang ini aku akan pulang ke rumah sebentar, jadi aku pulang terlebih dahulu sebelum pergi bertemu dengan Vitto.
****
"Kenapa baru pulang sekarang?" Aku hanya menundukkan kepala mendengar pertanyaan kak Hendra. Aku tahu dia kesal padaku karena baru pulang lagi melihat keadaannya. Ya, selama hampir satu bulan aku di rumah Andre, cuma tiga kali aku pulang ke rumah, dan ini yang keempat.
"Bukankah rumah Andre tidak jauh dari sini. Tapi, kenapa seolah-olah kamu itu tinggal di luar kota. Kamu gak mau lagi bicara dengan kakak?"
"Bukan. Bukan begitu, kak." aku segera menjawab dugaan kak Hendra yang salah paham.
"Yaudah, sini duduk temenin kakak."
Aku duduk dikursi yang dekat dengan Kak Hendra, yang membuat mataku langsung tertuju pada kakinya.
"Gimana dengan kaki, kakak?"
"Sudah ada kemajuan. Kalau dalam bulan ini kakak tetap rutin jalani terapi. Maka, bulan depan kakak bisa menggunakan satu tongkat saja," jelasnya sambil menaikkan sebelah alisnya menatapku.
"Benarkah?" aku tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanku mendengar penuturan Kak Hendra barusan. Tersenyum lebar, aku memeluk Kak Hendra. Dalam hati berharap Kak Hendra bisa berjalan lagi secepatnya. "Andri udah gak sabar pengen lihat kakak berjalan normal kayak dulu lagi." lanjutku mengeratkan pelukan.
"Kakak juga berharap gitu. Nah, sekarang kasih tau kakak gimana belajar kalian selama ini. Kalian gak bermain-main aja kan kerjaannya?" Kak Hendra memandangku lekat meminta jawaban jujur.
"Hehehe. Kami belajar kok. Mainnya setelah belajar." aku meyakinkan Kak Hendra. Dan dia sudah mengangguk-ngangguk setelah mendengar jawabanku.
"Oh ya, mama dan papa mana, kak?" dari tadi aku tidak melihat keberadaan orangtuaku. Biasanya mereka akan menghabiskan hari minggu ini di ruang keluarga. Kalau Kak Inka, tidak perlu kutanya, karena kemarin aku dapat kabar dia sudah bepergian lagi, sekarang lagi di Amerika. Bukan urusan kerjaan, melainkan untuk liburan. Melepas penat setelah aktifitas yang padat katanya.
"Mereka pergi ke pesta pernikahan salah satu anak teman papa."
"Kasian kakakku yang ganteng ini ditinggal sendirian." aku menggoda Kak Hendra yang ditinggal sendiri dan dibalas lemparan bantal olehnya. Aku tahu Kak Hendra pasti menolak ajakan mama dan papa, karena dia tidak suka ke acara seperti itu.
Tidak lama kami mengobrol, Kak Mia datang membawa beberapa cemilan buat kami. Obrolan kami jadi tambah seru karena Kak Mia termasuk orang yang supel. Tak jarang Kak Hendra memuji kekasihnya ini. Dia menceritakan bagaimana sabarnya Kak Mia yang selalu setia menemaninya saat terapi. Aku ikut senang mendengar ceritanya. Kak memang perempuan yang sangat baik. Kak Hendra pernah meminta Kak Mia untuk meninggalkannya, karena dia begitu putus asa dan tidak mau Kak Mia bertahan hanya Karena kasihan. Namun, Kak Mia dengan segala kedewasaannya meyakinkan Kak Hendra bahwa dia tidak akan pernah meninggalkan Kak Hendra dan akan selalu disisinya apapun keadaannya karena dia sangat mencintai kakakku ini. Seandainya hubunganku dengan Tora seindah kisah kakakku ini. Pasti aku akan sangat bahagia. Tapi kenyataannya hubungan kami telah berakhir gara-gara orang ketiga.
"Andri, kamu melamun?" sentuhan tangan Kak Hendra pada bahuku, membuatku tersadar dari lamunan.
"Ah, enggak kok. Andri cuma berpikir saja kalau Kak Hendra sangat beruntung memiliki Kak Mia." aku tersenyum meyakinkannya, dan dibalas senyuman lebar oleh Kak Hendra.
"Iya dong. Dia adalah wanita terhebat yang pernah kakak miliki." bangga Kak Hendra, tak lupa merangkul Kak Mia mesra, membuat yang dirangkul tersenyum malu mendapat pujian dari sang kekasih.
"Kamu juga. Walaupun terkadang kakak meragukan hubungan kalian. Tapi sekarang kakak yakin dia pasti bisa membahagiakanmu." Perkataan Kak Hendra baru saja membuat dadaku kembali sesak. Pasalnya aku sudah putus dengan Tora.
"Dan kalau sudah menikah nanti, kamu harus sering memperhatikan kesehatannya. Kakak tau dia sangat sibuk membagi waktu antara pendidikan dan pekerjaannya diusia yang masih sangat muda. Dan peranmu sebagai pendamping harus memberikan dukungan dan perhatian lebih padanya." petuah Kak Hendra menasehatiku. Kakakku sampai sejauh itu memikirkan hubunganku dengan Tora.
Ingin rasanya aku memberitahukan yang sebenarnya terjadi antara kami, tapi dadaku begitu sakit dan tak sanggup mengurtarakannya. Hanya kembali memeluk dan menangis dipelukannya seraya mengucapkan terimakasih karena sudah begitu perhatian kepada kami, walau kenyataannya sudah berbeda sekarang.
Selesai mengobrol dengan Kak Hendra dan Kak Mia, aku pamit pulang ke rumah Andre dengan alasan tidak mau mengganggu kencan mereka. Kenyataannya aku berada di sini sekarang, di depan sebuah tempat cafe yang lagi digemari anak-anak muda sekarang. Aku mengirim pesan ke Vitto bahwa sudah sampai, dia membalas, menyuruhku segera masuk dan memberitahukan ruangan tempat dia berada. Sampai di dalam, aku disambut ramah oleh karyawan cafe. Dan segera diantar oleh salah satu karyawan ke tempat Vitto berada setelah menyebutkan namanya.
Cafe ini cukup menarik dan unik. Di lantai bawah bagian dindingnya dihiasi lukisan-lukisan unik yang berbeda ditiap meja. Dan ada sedikit pembatas diantara meja satu dengan yang lainnya. Di lantai atas juga tak kalah menarik, antara meja satu dan yang lain dibentuk seperti ruangan, cuma tidak berpintu. Satu ruang bisa diisi kira-kira enam orang. Aku dibawa ke salah satu ruang yang terletak dibagian ujung lantai ini. Di sana sudah ada Vitto ditemani segelas jus. Dia berdiri dari duduk menyambut kedatanganku. Tubuhnya begitu tegap. Dengan kulit sedikit coklat, rambut serta mata berwarna hitam, tak lupa rahang yang kokoh menambah kesan tegas pada dirinya. Vitto terlihat berbeda dari fotonya. Dia juah lebih tinggi dariku, bahkan mungkin lebih tinggi dari Tora. Ah, kenapa aku malah memikirkan Tora disaat seperti ini. Tujuanku untuk bertemu Vitto adalah ingin move on. Mencoba dekat dengan laki-laki lain supaya aku tidak melulu dibayang-bayangi oleh Tora. Agar dia juga berhenti mengikutiku.
Mengucapkan terimakasih pada karyawan yang mengantarku, lalu kembali menoleh ke arah Vitto dan menerima uluran tangannya.
"Hai. Apa kabar?" ujarnya sambil tersenyum menatapku.
"Baik." balasku singkat mencoba bersikap santai, karena aku cukup gugup bertemu dengan seorang teman yang kukenal lewat dunia maya. Ini baru pertama kali bagiku.
"Aku senang sekali saat kamu menyetujui ajakanku untuk ketemu," ujarnya lagi, tak lupa mempersilakan aku duduk.
"Aku juga senang bisa bertemu dengan kakak," balasku ikutan tersenyum kepadanya, "Kakak gak lama kan, nunggunya?"
"Ah, enggak kok. Santai aja. Oh ya kamu mau makan atau minum sesuatu?"
"Gak usah, kak. Aku sudah makan, minum aja." balasku sopan. Aku memang sudah makan di rumah bareng Kak Hendra dan Kak Mia sebelum berangkat ke sini.
Setelah kuberitahu minuman yang kusuka, Vitto memanggil salah seorang karyawan dan memesan minuman untukku dan beberapa makanan ringan untuk kami. Setelah pesanan datang, kami mengobrol ringan seputar pendidikan. Dia memberikan beberapa referensi mengenai universitas-universitas yang mumpuni untukku yang berencana mengambil jurusan bisnis. Namun, tiba-tiba Vitto mengenggam tanganku dan mengelusnya secara perlahan.
"Jadi, coba beritahu kakak, kenapa kamu tertarik dengan jurusan bisnis?" dia bertanya dengan masih mengelus punggung tanganku.
Aku sedikit kikuk mendapatkan perlakuan seperti ini dari Vitto, berusaha bersikap tetang dan melepaskan secara halus tanganku pura-pura mengambil gelas minuman untuk kuminum.
"Aku ingin mengikuti jejak papa dan kakak-kakakku." sambil tersenyum aku memberikan jawaban pasti.
"Wah, pasti mereka bangga sama kamu, Dri." komentarnya, dan kembali mengenggam tanganku yang sudah di atas meja karena aku melanjutkan memakan makanan di hadapanku.
"Haha, kakak bisa aja," tertawa canggung aku tetap berusaha bersikap santai.
"Hei, gimana kalau setelah ini kita nonton?" tanyanya dengan raut wajah yang cerah.
"Nonton?"
Vitto mengangguk semangat menatapku penuh harap. Aku memikirkan tawarannya, apakah aku harus terima ajakannya atau enggak. Dan sepertinya tidak masalah kalau hanya sekedar nonton, lagipula aku juga sudah lama tidak menonton di bioskop. Namun, belum sempat mengiyakan ajakan Vitto, aku dikagetkan oleh kehadiran seseorang.
"Jadi ini yang kamu lakukan tanpaku?" tanyanya dingin, tatapan matanya menusuk tajam. Terlihat jelas aura kemarahan di wajah putih pucatnya.
Aku kaget sekaligus heran dengan kehadiran Tora yang tiba-tiba ada di hadapanku. Sial, aku merutuki kebodohanku. Pantas saja dia dengan mudah mengetahui keberadaanku. GPS kami masih terhubung. Memberanikan diri menatap matanya, aku membalas ucapan Tora.
"Mau apa kamu di sini?"
"Ehm, Andri, dia siapa?" aku menoleh ke arah Vitto dan menjawab pertanyaannya.
"Dia mantan—"
Greb!
Belum selesai aku bicara, Tora sudah menarik tanganku paksa hingga membuatku otomatis berdiri dari duduk dan tanganku yang tadinya digenggam Vitto terlepas.
"Jangan coba-coba menghubungi atau menemuinya lagi!" Tora memberi peringatan kepada Vitto masih dengan tatapan penuh amarah.
"Tora, lepaskan! Kamu tidak bisa see—" lagi ucapanku terpotong karena tatapannya yang cukup membuatku takut. Lalu menarik tanganku meninggalkan Vitto yang masih duduk terpaku menatap kami.
"Tora, kamu apa-apaan. Lepasin aku!" seolah tuli, Tora masih saja menarik tanganku sampai menuju mobilnya terparkir di depan cafe. Memaksaku masuk ke dalam mobil dan menguncinya, Tora lanjut berjalan menuju pintu kemudi. Dia menjalankan mobilnya lebih kencang dari biasa setelah memasangkan sabuk pengaman untukku dan dirinya. Aku menoleh ke arahnya dengan emosi.
"Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Kenapa kamu masih ikut campur urusanku. Kanapa tak kamu urus saja pacar barumu itu!" aku berteriak meluapkan kekesalanku padanya.
"Diam!" Tora mendadak menghentikan mobilnya dan memerintahkanku untuk diam. Wajahnya yang memerah dan kepalan erat tangannya pada setir kemudi sudah cukup membuatku tahu kalau dia sangat emosi sekarang dan berusaha menahannya. Menelan ludah takut, aku menundukan wajah dan tidak berani membantah ucapannya hingga kurasakan mobil kembali bergerak maju.
.....
Setelah menempuh perjalan panjang dan keheningan yang tercipta di antara kami, aku baru berani mengangkat wajah kembali begitu mobil yang dibawa Tora berbenti dan dia melepaskan sabuk pengamanku. Tora mengambil sesuatu yang terletak di jok belakang, sementara aku menoleh kw depan mencari tahu di mana posisi kami sekarang ini. Mataku terbelalak begitu melihat banyak orang berlalu lalang menarik koper mereka.
Bangunan besar, ramai, koper. Departures?
Bandara!!
01/08/2019
Hai semua~~
Maaf ya, membuat kalian lama menunggu. oke semoga kalian suka dengan part yang ini.
selamat membaca..
@JosephanMartin@Aurora_69@o_komo@okki@denfauzan@3ll0@Yirly@QudhelMars@Abdulloh_12@RifRafReis@abyyriza@Chu_Yu7@StevenBeast@RenataF@hananta@Rars_Di@wisnuvernan2@adammada@yogan28@Algibran26@arifinselalusial@Adi_Suseno10@Apell@Mr27@ryanadsyah@Firman9988_makassar@Reyzz9@jose34@vane@kunnnee@AvoCadoBoy@Satria91@bayu15213@RinoDimaPutra@alfan_Fau@yandiChan@happyday@farrel_pratama@rahmad1@cowokkumal@IlyasArbani @ arieat @Obipopobo@yogan28
> opmin itu yg paling bagus di antara yg gak bagus
aku pakai mozila aja sekarang @kreteks-jadul
> @Adi_Suseno10 menulis:
> Mantapp
sankyu @Adi_Suseno10
> Makasih udah di lanjut kak... Ceritanya luuuuarrr biaaasaaaaaaaaaa , d tunggu updatenya
udah lanjut tuh. semoga suka @cowokkumal
> Putusss ??? Semoga aja engga, tapi kurang banyak ceritanya kak hehehe, makasih udah di lanjut.., tag aku juga ya kak kalo udah dilanjut lagi
iya mereke udah putus. semoga kamu suka part yang ini @rahmad1
> @Abdulloh_12 menulis:
> kenapa jadi gini T^T
entahlah, aku juga gak tau @Abdulloh_12
> @yogan28 menulis:
> Tora pst mw buat kejutan kan Bro
bisa jadi, bisa jadi @yogan28 :v
@lulu_75 kagak tau.... Terserah tora ae lah :v
Cuzz berangkatt Bang Toraaa....?
Hai maaf telat update nya..
Semoga kalian suka part ini
Selamat membaca guys..
note: pada part ini ada sedikit flashback, sebenarnya pake garis miring, tapi aku sudah lupa cara bikin garis miringnya di sini. jadi aku harap kalian tidak ragu membacanya :)
****
Part 30
Aku menghela napas lelah memikirkan hubungan kami, dan kedekatanku dengan Sony. Tidak ada yang salah dengan kedekatan kami. Aku menganggapnya sudah seperti adikku sendiri, pun sebaliknya. Namun, aku tak menyangka Andri sampai salah paham begini hingga tanpa berpikir panjang memutuskan hubungan kami. Apakah karena masalah dengan mamanya dan karena saranku yang mengusulkan agar kami pura-pura putus, membuat emosinya jadi tidak terkendali.
Dan aku benar-benar kecewa mendengar keputusan sepihak darinya. Hanya karena salah paham dia mengambil keputusan yang tidak bisa kuterima. Putus. Satu kata yang pantang bagiku untuk mengucapkan dan mendengarnya. Tapi…
Hah.
Aku menghela napas lelah tuk kesekian kalinya, mengingat kembali ucapanku waktu itu.
"Mama marah besar, dan menyuruh kita untuk putus. Jika tidak, mama akan memberitahu papa dan memisahkan kita dengan paksa," beritahunya dengan tatapan sedih. Hatiku terasa sakit melihat dia yang seperti ini.
"Baiklah, mungkin kita harus mengambil keputusan ini. Supaya orangtuamu senang," aku buka suara setelah beberapa saat terdiam memperhatikan orang yang kukasihi ini. Andri menatapku dengan tatapan penuh tanya.
"Kita pura-pura putus. Dan kalau mamamu bertanya soal hubungan kita, kamu bisa bilang bahwa kita sudah putus. Dan mungkin sesudah itu kita tidak bisa berkencan lagi setelah pulang sekolah. Karena kamu harus pulang tepat waktu agar mamamu tidak curiga." Aku mengungkapkan sebuah ide yang muncul begitu saja di otakku. Dan kulihat mata itu sudah mengeluarkan cairannya. Membuatku jadi merasa bersalah telah memberikan ide seperti ini pada kekasihku ini.
"Kenapa kita tidak bisa seperti mereka yang hubungannya begitu mudah diterima oleh orang-orang di sekitar mereka?" tanyanya dengan isakan kecil. Langsung saja aku memeluknya.
"Kenapa harus seperti ini jadinya?"
"Semua akan baik-baik saja. Dan ini yang terbaik buat kita." Aku mengusap kepalanya lembut dan menenangkan dirinya yang masih terisak.
'Tunggulah sebentar lagi hingga kita lulus.' Batinku sambil mengeratkan pelukanku pada tubuh Andri.
***
Aku tidak akan membiarkan hubungan kami berakhir begitu saja. Aku harus membuat Andri kembali kepadaku. Bagaimanapun caranya. Aku harus mengikatnya, dengan begitu dia akan tetap bersamaku.
Masih menggunakan pakaian kerja aku menghempaskan tubuh ke atas tempat tidur. Mengambil ponsel, dan mencari nomor Andre.
[Halo!]
[Aku dengar, Andri lagi dekat dengan seseorang.] Aku bertanya to the point padanya.
[Err, ya. Anak kedokteran universitas xx.]
[Tolong bantu aku awasi dia terus.]
[Tenang aja, gue akan awasin dia 24 jam. Jadi, gimana rencana, lu?]
[Sedikit lagi selesai. Tinggal bicara dengan kakaknya.]
[Gue percayain Andri ke elu.]
[Terima kasih.]
Tidak lama aku mengakhiri obrolan kami. Menghela napas lelah, aku bangkit dari tempat tidur kemudian membersihkan diri ke kamar mandi. Aku memang meminta Andre untuk mengawasi Andri, karena dia yang paling sering bertemu dengannya. Ditambah lagi dia sekarang menginap di rumah Andre. Aku jadi lebih banyak mendapatkan informasi mengenai dirinya. Dan begitu dapat kabar dari Doni mengenai kedekatannya dengan seseorang, aku segeran menghubungi Andre. Besok aku mau menemui kak Inka.
*****
"Jadi, apa yang bisa kakak bantu?"
Aku meletakan cangkir kopi yang kupegang. Memantapkan diri mengutarakan niatku ke kak Inka, "Izinkan saya menikahi Andri."
Kak Inka tidak merespon lamaranku. Sikapnya yang diam membuatku gugup. Kemungkinan-kemungkinan buruk berseliweran di benakku. Takut akan ditolak. Takut dia akan mengusirku dari ruangan ini. Dan….
"Tora, kakak gak salah dengar kan?"
Aku memberanikan diri menatap wajahnya, "Kakak tidak salah dengar," ulangku meyakinkannya.
"Kamu serius dengan ucapanmu?" dia menghela napas, menghembuskannya perlahan kemudian…
"Kalian masih sekolah, dan… hah, kakak tahu kamu sudah mapan, tapi… kalian masih terlalu muda. Dan apa kamu yakin Andri akan siap nikah dini? Apa kamu yakin kalian bisa menghadapi masalah-masalah rumah tangga, tanpa berakhir dengan perceraian?"
Aku mengerti dengan kekhawatiran Kak Inka. Tapi aku sudah memantapkan hati, dan mempersiapkan segalanya. Aku tidak mau mundur hanya karena masalah-masalah yang tidak tahu seperti apa bentuknya. Aku akan membuktikan bahwa kami bisa menjalaninya walau menikah diusia muda.
"Saya yakin kami bisa menjalaninya. Tolong beri saya kepercayaan menjaga dan membahagiakan Andri." Aku menundukan kepala memohon agar mendapatkan restu dari Kak Inka. Bisa kudengar dia beberapa kali menghela napas.
"Hah. Kalau kamu memang yakin—"
Ceklek.
"Kakak! Aku… hei vampir! Ngapain lu di sini?"
Aku menoleh ke arah orang yang sudah memotong ucapan kak Inka barusan. Ternyata Kak Hendra bersama kekasihnya.
Aku menyapa dan menyalaminya, juga dengan kekasihnya. "Hai sayang. Gimana terapimu hari ini?"
Kak Hendra menghampiri Kak Inka, kemudian duduk di sebelahnya, "Berjalan dengan baik. Sebentar lagi aku tidak perlu menggunakan tongkat lagi."
"Kakak senang dengarnya." Kak Inka tersenyum bahagia. Aku pun diam-diam ikut senang mendengar kabar yang Kak Hendra sampaikan. Dengan begitu Andri tidak akan menyalahkan dirinya atas apa yang menimpa kakaknya itu.
"Oh ya, apa kalian sedang membahas pekejaan?" kak Hendra menoleh padaku seakan meminta jawaban.
"Saya ke sini untuk meminta restu," membalas pertanyaannya.
"Restu?"
"Saya ingin menikah dengan Andri,"
"Apa!" teriaknya kaget mendengar penuturanku. Kak Inka memukul bahunya karena terikannya barusan. Kulihat kekasihnya juga kaget mendengar ucapanku, namun dia hanya diam tidak berkomentar.
"Kak… Yang diucapkan vampir ini tidak benar, kan?"
"Namanya Tora, Hendra!" Kak Inka menegurnya. Dia hanya mendengus kasar. Aku tidak peduli dengan panggilan yang disematkannya untukku.
"Heh! Lu mau ambil adik gue!" dia berbicara masih dengan nada tinggi. Aku harus bersikap tenang pada situasi seperti ini, walaupun dalam hati sangat gugup karena masih belum ada jawaban pasti dari mereka.
"Saya tidak bermaksud begitu. Saya hanya ingin menjaga dan menjadi pendamp—"
"Lu pikir, kita keluarganya gak bisa ngejaga dia, gitu?!" belum selesai aku berbicara, dia sudah memotong dan salah paham dengan kata-kataku. Sepertinya aku salah berucap.
Menghela napas pelan aku kembali buka suara. Sepertinya aku harus ke intinya saja, "Kakak salah paham. Saya ingin menjadi pendamping hidupnya dan saya berjanji akan menjaga dia dengan baik seperti yang selama ini kalian lakukan. Untuk itu saya saya datang ke sini untuk meminta restu…" aku diam sejenak memperhatikan mereka semua.
"Saya minta maaf karena tidak meminta restu kepada orangtua kakak. Karena saya tahu mereka tidak akan merestui hubungan kami dan saya tidak ingin berpisah dengan Andri. Saya mohon izinkan saya menikah dengan Andri." Aku mengakhiri ucapanku dan menundukkan kepala sambil menunggu keputusan mereka.
"Hah. Baiklah, kalau kamu memang benar-benar serius ingin menikahi Andri. Demi kebahagiaan adik kami. Kami menerima lamaranmu." Aku menegakkan kepala dan tersenyum bahagia mendengar keputusan Kak Hendra barusan. Aku tidak menyangka kalau dia mau menerima lamaranku. Kulirik Kak Inka dan kekasih Kak Hendra bergantian, mereka ikut tersenyum memberi dukungan.
"Terima kasih, terima kasih, atas restu kalian." Aku membungkukan badan beberapa kali sebagai ucapan terima kasih kepada mereka.
.
.
.
Selama perjalanan pulang, senyum tak pernah hilang dari wajahku. Soal paspor dan visa Andri sudah aku bicarakan dengan kedua kakaknya. Besok aku tinggal mengambilnya ke kantor kak Inka. Kakakku juga sudah membantu mengurus semuanya di sana. Ya, semenjak Andri memutuskan hubungan kami, aku sudah mulai mempersiapkan segalanya dan menghubungi kak Ziven. Dan juga sudah membicarakan tujuanku kepada mama. Mama tentu tidak menolak keinginanku asalkan pihak Andri juga setuju. Dan aku berhasil meyakinkan mama, pun dengan kakak-kakaknya Andri. Dengan begini Andri tidak akan lepas lagi dariku. Dan dia harus mau menikah denganku. Sekarang aku hanya perlu membawa dirinya ke sana.
.
.
.
Hari ini aku tidak menampakkan diri lagi di hadapan Andri, tapi mengikuti kemana dia pergi. Karena aku mendapat informasi dari Andre bahwa dia akan bertemu dengan seseorang yang pernah diceritakannya padaku. Saat mengetahui kenyataan itu dari Andre pagi ini, jantungku terasa mau terbakar. Dan semakin menguatkan tekadku untuk segera membawanya pergi dari negara ini. Semua surat-surat kami sudah berada di dalam mobil. Sekarang aku ingin membuktikan pembenaran dari ucapan Andre.
Kulihat Andri memasuki pekarangan rumahnya, memerhatikan dirinya dari dalam mobil sedang asyik bicara dengan Kak Hendra. Melihat mereka berpelukan, aku juga ingin merasakan lagi pelukan hangat darinya dan menghirup aroma tubuhnya yang kurindukan. Sebentar lagi. Aku harus sabar menunggu sampai saat itu tiba.
Terlalu asyik melamun aku tak menyadari kalau Andri sudah selesai berbincang-bincang dengan kakaknya dan tidak ada lagi di sana. Segera saja aku mengecek ponsel guna melacak keberadaannya saat ini. Ternyata aku sudah terlalu jauh tertinggal, namun tetap mengikuti kemana titik itu berhenti. Jalanan macet pun tak menyurutkan niatku menuju lokasi keberadaan Andri saat ini. Berharap dia masih ada di sana hingga aku tak kehilangan jejak. Sampai aku berhenti di sebuah cafe - mungkin - aku segera mencari tempat parkir dan keluar dari mobil.
Memasuki cafe, aku mengedarkan pandangan mencari keberadaan Andri sampai seorang pelayan cafe menghampiriku dan bertanya dengan ramah. Bersikap tenang aku memberitahukan bahwa aku ada janji di tempat ini. Menyebut nama Andri dan Vitto. Pemuda yang ingin ditemui oleh kekasihku itu. Ya, sampai kapan pun Andri akan tetap menjadi kekasihku. Kembali tersenyum ramah dia menuntunku ke tempat di mana meja Andri berada, tapi aku segera menyuruhnya meninggalkanku begitu kami sampai di lantai dua.
Aku berjalan dengan tenang sambil melirik satu persatu bilik yang ada. Hingga langkahku terhenti tepat di depan bilik mereka. Dan aku disambut oleh pemandangan yang memancing emosi.
"Jadi ini yang kamu lakukan tanpaku?"
Aku memandang penuh amarah kepada Andri, terutama pria yang mengenggam tangannya itu. Ingin rasanya aku memukul wajahnya saat ini juga, namun aku harus menahannya agar Andri tidak semakin marah padaku. Seolah menulikan telinga mendengar percakapan mereka, aku menarik tangan Andri. Memberi peringatan kepada pria itu, lalu membawa Andri keluar dari cafe tersebut tak peduli dengan protesannya.
.
.
.
Selama perjalanan aku terus menahan emosi mendengar ucapan kekesalan Andri. Hingga tanpa bisa kukendalikan lagi, aku membentak dirinya. Seketika dia diam. Dapat kulihat rasa takut di wajahnya. Membuatku menyesal, tapi aku terpaksa melakukannya. Karena tidak ingin mendengar kata-kata yang tak ingin kudengar.
Begitu sampai di bandara, aku segera mengambil sebuah tas dan koper kecil yang terletak di kursi belakang. Semua surat-surat dan barang yang kami butuhkan sudah ada di dalamnya. Mengunci pintu mobil, aku berjalan mencari seorang karyawanku yang sudah menunggu di bandara. Setelah menemukan dirinya segera kuserahkan kunci mobil dan menyuruhnya membawa ke hotel. Tak lupa sedikit uang saku untuk dirinya karena telah membantuku dan menunggu lama.
.
.
Selama perjalanan memasuki bandara aku tidak mempedulikan wajah kekagetan Andri. Lebih memilih diam dan terus berjalan sambil menarik tangannya yang mencoba meronta. Hingga memasuki pesawat pun tidak ada yang berbicara di antara kami, Andri pun sudah tidak memberontak lagi. Aku meraih tangannya, namun penolakan yang kudapatkan dan tatapannya yang mengarah keluar jendela tanpa menoleh sedikitpun padaku. Menghela napas, aku pasrah dengan sikapnya tersebut.
.
.
.
Sekarang ini kami berada di Pennsylvania, Amerika. Aku menunggu taksi yang akan membawaku ke rumah kak Ziven tepatnya di Philadelphia. Kami akan tinggal di sana selama berada hari di negara ini. Dan untuk acara pernikahan kami sudah diurus oleh kak Ziven, dan kak Velika yg sudah beberapa bulan tinggal di sana. Kami hanya perlu mempersiapkan diri dan menandatangani surat-surat pernikahan nanti.
Aku melirik Andri yang tertidur di sampingku. Dia terlihat kelelahan setelah melakukan perjalanan yang panjang. Aku mendekatkan diri dan menariknya ke dekapan, mengelus punggungnya perlahan agar dia merasa nyaman. Sebentar lagi, kami akan terikat pernikahan dan kupastikan tak akan ada lagi yang namanya perpisahan. Hanya ini cara agar kami bisa terus bersama.
.
.
Aku menggendong Andri yang masih terlelap dalam tidurnya masuk ke dalam rumah. Menghampiri mama yang sudah menyambut kedatangan kami. Mencium pipi mama kemudian mengikuti langkahnya menuju kamar yang akan kami tempati.
"Sepertinya Andri sangat kelelahan," mama duduk di pinggir tempat tidur memperhatikan wajah damai Andri.
Aku tersenyum membenarkan ucapan mama. Kemudian mencium keningnya sekilas.
"Kak Ziven mana, ma?"
"Dia baru saja mengantarkan Patricia pulang," aku mengangguk mengerti mendengar jawaban mama.
"Kamu pasti lelah sayang, sebaiknya kamu istirahat. Besok kalian akan menikah, bukan?"
"Mama juga harus istirahat." mama tersenyum sambil mengusap bahuku, lalu keluar kamar meninggalkan aku dan Andri.
.
.
.
Sinar matahari membangunkanku dari tidur. Aku membuka mata dan mendapati wajah Andri yang masih terlelap. Membelai wajahnya dan mengecup bibirnya yang sedikit terbuka. Perlahan matanya bergerak terbuka, berkedip beberapa kali sebelum terbuka sempurna menatap diriku yang masih terus membelai pipinya.
"Selamat pagi, sayang. Gimana perasaanmu, sudah baikan?" dia tak menjawab pertanyaanku, malah mengedarkan pandangan ke sekitar ruangan yang dihias cukup romantis untuk pengantin baru.
"Tora, ini di mana?"
"Ini di kamar kita, untuk sementara kita tinggal di sini."
"Huh?" dia kembali menatapku dengan raut bingung.
"Sudahlah sayang, nanti kamu akan tahu. Sebaiknya kita cuci muka dulu, lalu sarapan. Kamu pasti lapar." Aku mengajaknya turun dari tempat tidur.
Tanpa banyak bicara Andri mengikuti langkahku ke kamar mandi. Dia sedikit kaget melihat pakaiannya saat ini. Ya, aku memang mengganti pakaiannya semalam, setelah me lap badannya dengan air hangat.
Setelah membersihkan diri, kami turun ke bawah untuk sarapan. Mama menyambut kami dengan senyuman bahagianya. Mencium pipiku dan Andri bergantian. Menanyakan kabar dan berbicara dengan Andri sebentar, kemudian menyuruh kami duduk. Di meja makan terdapat beberapa jenis makanan, kupastikan bikinan mama. Setiap kali ke Amerika, mama akan selalu memasakan makanan untuk kak Ziven. Dan sekarang tentu untuk kami juga.
"Kak Ziven mana, ma?"
"Sebentar lagi dia akan turun. Nah itu dia." mama menunjuk keberadaan kak Ziven dengan dagunya. Aku dan Andri menoleh ke arah yang ditunjuk mama. Kak Ziven tersenyum lebar melangkah ke arahku.
"Apa kabar, brother"?
"Seperti yang kakak lihat," aku menerima pelukan erat dari kak Ziven sembari menepuk-nepuk pelan pundakku. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya, dan aku sangat merindukan kakakku yang satu ini.
"Jadi ini dia calon adik ipar, kakak?" ujarnya setelah melepas pelukan kami.
Aku mengangguk sebagai jawaban. Kulihat Andri terpaku menatap sosok kak Ziven dan berdiri memperkenalkan diri dengan kikuk.
.
.
.
Selesai makan kami mengobrol di ruang santai, membicarakan di mana aku memilih tinggal nanti. Apakah di Amerika atau Indonesia. Tentu aku memilih Indonesia karena pekerjaanku banyak di sana. Bisa kulihat Kak Ziven tidak suka dengan keputusanku.
"Kenapa kamu gak tinggal di sini aja, bro?" Kak Ziven berusaha membujukku untuk menetap di sini.
"Di Indonesia banyak pekerjaan yang harus ku urus, kak."
"Tapi di sini juga ada,"
"Sayang, bukankah kamu sudah janji bakal ngurusin hotel yang ada di sini?" Mama mengingatkan kak Ziven mengenai janji yang pernah dibuatnya.
"Tapi Ziven kan harus ke rumah sakit juga, ma. Jadi—"
"Kamu hanya perlu ngontrol sekali-sekali aja, sayang."
"Kenapa gak minta Kak Velika aja, atau suaminya yang ngurusin. Mereka kan udah tinggal di sini." kak Ziven masih mencoba mencari alasan.
"Sayang, kakakmu itu punya anak kecil yang harus dia urus. Dan suaminya punya perusahaan sendiri yang harus dia urus. Mereka juga hanya sementara tinggal di sini."
"Tapi ma—"
"Kamu mau mengontrol hotel yang di sini atau mama akan minta pihak rumah sakit untuk memecatmu secepatnya, dan mama balik tinggal ke Indonesia!"
"What?!" seketika wajah Kak Ziven langsung pucat mendengar ancaman mama.
Ya, pemilik rumah sakit tempat kak Ziven mencari nafkah adalah kenalan mama. Mereka bertemu saat kak Ziven membawa mama ke acara perayaan ulang tahun rumat sakit tersebut. Jangan ditanya kenapa kak Ziven membawa mama acara tersebut, bukan kekasihnya. Karena pada saat itu dia masih sendiri, dan kalau mama berkunjung ke Amerika, dia akan membawa mama kemanapun saat dia libur kerja. Termasuk ke acara penting tersebut.
"Oke, oke. Ziven akan mengurus hotel yang ada di sini." final nya yang sudah menyerah berdebat dengan mama.
Aku hanya tertawa melihat tingkah kakakku yang satu ini. Dulu dia mengejar cita-citanya menjadi dokter hingga dia direkomendasikan ke sebuah rumah sakit yang ada di sini. Entah ada angin apa, beberapa tahun lalu dia memutuskan untuk mau mengontrol hotel yang ada di sini, saat salah seorang kepercayaan papa yang dipercaya mengurus hotel di rawat di rumah sakit dan memutuskan untuk istirahat.
Setelah perdebatan antara mama dan kak Ziven berakhir, salah satu asisten rumah tangga kak Ziven datang menghampiri kami, membawa beberapa orang yang kuyakini orang-orang dari pihak wedding organizer. Mama segera menghampiri mereka dan menyuruh kami semua untuk bersiap-siap. Rasa penasaran terlihat jelas di wajah Andri ketika melihat petugas-petugas dari pihak WO membawa beberapa peralatan dan makanan, serta pakaian masuk ke dalam rumah. Dia masih belum tahu mengenai pernikahan ini.
"Tora, apakah ada acara di rumah ini?" Andri berbisik di sebelahku.
"Ini untuk acara pernikahan kita, sayang,"
"APA?!" rasanya aku ingin tertawa melihat wajah syok kekasihku ini. Tapi aku tak ingin membuat dia marah lagi.
"Surprise~" aku ikutan berbisik ke telinganya.
"T-tapi, kamu… Gak, aku gak mau nikah sama tukang selingkuh!"
"Ha ah..! Sayang, udah berapa kali aku kasih tau kalau aku gak ada hubungan apa-apa dengan Sony."
"Tap—"
"Ssstt," aku menutup mulutnya dengan tangan, "hanya kamu yang ada di sini," aku meraih tangannya dan menempatkannya ke dada sebelah kiri, "dan hanya kamu orang yang kuinginkan untuk jadi pendamping hidupku. Mengerti?!"
Andri menundukan wajahnya dan mengangguk pelan mendengar perkataanku. Berikutnya aku menarik tangannya naik ke lantai atas untuk bersiap-siap.
.
.
Aku baru saja selesai berpakain. Tinggal menunggu Andri untuk di rias. Saat mau menghampiri Andri, kudengar ketukan pintu dari luar. Kubuka, dan ternyata kak Hendra yang datang bersama kekasihnya, tak lupa kak Inka juga ada. Aku memang meminta mereka untuk datang ke pernikahan kami agar Andri tidak merasa sendirian.
"Ekhm.. Sepertinya adik kakak menikmati hari pernikahannya." Andri segera berbalik dan berdiri dari duduknya begitu mendengar suara kak Hendra. Menerjang kedua kakaknya ke dalam pelukan dan menangis. Penata rias yang akan merias Andri hanya memperhatikan momen tersebut dengan sabar.
"Masa dihari bahagia ini, adik kakak nangis?" kak Inka angkat suara serta menghapus air mata Andri.
"Andri senang kalian ada di sini. Tapi mama dan papa—" Andri menghentikan ucapannya.
"Kakak tau mama menentang hubungan kalian. Tapi tidakkah kami cukup sebagai walimu di sini?" Andri mengangguk dengan cepat mendengar ucapan kak Inka.
"Kak, kapan kakak dan kak Mia datang? Bukankah sebelumnya kalian masih di rumah?"
"Kak Mia datang ke rumah itu sebenarnya mau bantuin kakak beres-beres. Dan kakak izin ke papa, kalau kami akan ke rumah neneknya kak Mia yang di Bali. Dan kami berangkat satu pesawat dengan kalian, kok," jelas kak Hendra sambil menaik turunkan kedua alisnya menunjukkan bahwa kejutan yang diberikannya berhasil.
Andri hanya bisa melongo mencerna penjelasan kak Hendra barusan. Pasalnya dia tidak tau bahwa kak Hendra satu pesawat dengan kami, hanya aku yang tau keberadaan kakak iparku ini.
"Dan kallau tau vampir ini sangat kaya, kakak akan merestui hubungan kalian dari dulu," celetuk kak Hendra lagi.
"Kakak~" Andri merengek mendengar penuturan kakaknya. "Jadi kalau Tora gak kaya, kakak mau misahin kami, gitu?" sekarang dia malah cemberut.
"Iya, iya. Kakak akan tetap merestui kalian, asalkan dia benar-benar serius dan bertanggung jawab atas adik kakak yang manja ini." kak Hendra mengacak surai Andri yang sekarang tersenyum lebar mendengar ucapan kakaknya itu.
"Sudah, sudah. Sebaiknya kamu kembali ke tempatmu, dek. Kami akan menunggu di bawah." kak Inka menginterupsi pembicaraan mereka dan mengajak kak Mia ikut bersamanya.
Aku ikut undur diri meninggalkan Andri dan kak Hendra selaku pendamping Andri nantinya. Mengecup bibirnya sekilas, tanpa mempedulikan makian kak Hendra yang masih tak rela adiknya kusentuh. Padahal sebentar lagi adiknya akan menjadi suamiku.
.
.
Acara pemberkatan dan resepsi pernikahan kami diadakan di halaman belakang rumah. Itu karena mama yang menyukai konsep outdoor dan natural.
Pintu penghubung antara halaman belakang dan ruang keluarga terbuka. Menampilkan sosok kak Hendra yang menggandeng Andri berjalan ke arah altar. Semua tamu yang hadir berdiri menyambut kehadiran mereka. Aku terpaku melihat penampilan Andri yang menawan dan manis dalam balutan tuksedo putih dengan perpaduan hitam sangat cocok dengannya. Begitu sampai di altar aku langsung mengulurkan tangan menyambut dirinya.
"Aku serahin Andri ke kamu. Aku harap kamu bisa menjadi suami yang bertanggung jawab untuknya dan selalu menjaganya untuk kami." aku mengangguk mantap mendengar ucapan tegas kak Hendra.
"Saya akan menjaganya dengan baik."
Andri memeluk kak Hendra sebentar sebelum tangannya kugenggam menghadap pendeta yang akan memberikan beberapa pertanyaan peneguhan janji nikah kepada kami.
Dengan keyakinan hati, aku menjawab dengan lantang dan tegas setiap pertanyaan dari pendeta. Pun sebaliknya dilakukan oleh Andri. Kemudian kami diminta saling berhadapan dan mengucapkan janji nikah di hadapan anggota keluarga dan tamu yang menghadiri pernikahan kami secara bergantian
....
Setelah pernikahan kami di sah kan secara agama. Kini waktunya bagi kami menyambut para tamu undangan mengucapkan selamat pada acara resepsi. Selain keluarga besarku, tamu yang hadir berasal dari kolega-kolega bisnis kami, dan rekan-rekan kak Ziven di rumah sakit juga ikut hadir ke acara resepsi ini. Walaupun dari pihak Andri hanya dihadiri oleh kedua kakaknya serta kekasih kak Hendra. Namun kebahagian masih terpancar di wajah manisnya itu. Aku tahu, di dalam hati dia mengharapkan kehadiran orangtuanya dan memberikan restu serta ucapan selamat kepada kami, tapi hal itu mustahil untuk jadi nyata.
"Aku harap kamu bahagia dengan pernikahan kita yang dadakan ini," aku mencium pipinya disaat para keluarga dan tamu asyik menikmati menu yang tersaji.
"Aku bahagia," balasnya dengan senyum yang manis, "aku gak nyangka kita menikah secepat ini. Dan walaupun gak ada mama dan papa di sini, aku sudah sangat bahagia dengan kehadiran kedua kakakku yang merestui kita dan menjadi waliku."
Aku menghapus air mata yang mulai jatuh ke pipi Andri, memeluknya dan membisikan sesuatu, sukses membuat dia menghentikan tangisannya, "Kamu akan lebih bahagia lagi setelah melihat ini." aku tersenyum lembut, lalu mangajaknya duduk ke tempat kami semula. Memanggil salah seorang pelayan membawakan tabletku.
Andri menatapku penasaran, tapi hanya sebentar karena begitu layarnya kuhidupkan dan melakukan video call, wajah penasarannya berubah menjadi tersenyum lebar. Ya, aku menghubungi teman-teman kami di Jakarta. Sebelum naik pesawat aku sudah memberitahu mereka mengenai pernikahan kami dan meminta mereka berkumpul di rumah Andre untuk video call ini. Teriakan mereka mendapat tawa renyah dari Andri.
"Sayang~ gimana kabar lu? Lu baik-baik aja kan di sana? Kenapa lu ninggalin gue dan nikah duluan. Gue kangen sama lu~" Andre
"Andri, Tora! Selamat ya, bro. Gue harap kalian selalu bahagia dan gak terpisahkan lagi." Doni
"Yo, Dri. Gue seneng akhirnya impian lu kesampaian. Dan lu, Tor. Jangan lu bikin adik gue sedih lagi." Reno menimpali. Aku mengangguk sebagai jawaban.
"Andri sayang! Akhirnya lu nikah juga ama Tora. Gue ikut seneng. Semoga kalian bahagia selalu ya, dan punya banyak anak, serta jadi ibu yang baik buat mereka." ucapan Resti sukses membuat yang lain melongo, sementara Andri di sebelahku hanya tersipu malu mendengar ucapan konyol gadis itu.
"Oi Tora! Lu jangan main kasar ya saat malam pertama nanti. Awas aja lu kalo kesayangan gue ampe lecet dan gak bisa jalan gara-gara lu!" Andre memberi peringatan padaku.
"Makasih sudah mengingatkanku soal malam pertama kawan," Aku tersenyum penuh arti padanya, kemudian menatap Andri intens, "aku jadi gak sabar nunggu malam datang," bisikku seduktif di telinga Andri dan sedikit menjilatnya.
"Woi! Kami masih ada di sini!!" teriak mereka bersamaan di seberang sana. Aku menghentikan aksiku, bersikap biasa dan kembali menatap mereka. Sedangkan Andri hanya tersenyum malu-malu.
"Oh ya, Dri. Ada yang mau ngomong sama lu nih," terlihat Resti menarik seseorang yang sepertinya duduk di sebelahnya. Ternyata Sony.
"H..halo, kak Andri, kak Tora," Sony menyapa dengan kikuk. Aku membalas sapaannya dan tersenyum, pun dengan Andri. Sepertinya dia sudah tak marah lagi kepada Sony setelah penjelasanku tadi.
"Selamat atas pernikahan kalian. Semoga bahagia dan selalu bersama," lanjut Sony tersenyum canggung. Mungkin dia masih takut Andri akan marah lagi padanya.
"Makasih, Son," balasku dan Andri bersamaan. Selanjutnya aku membiarkan Andri meneruskan ucapannya.
"Aku minta maaf ya, karena udah salah paham dan bersikap kasar sama kamu, Son," tatapannya menyendu dan penuh penyesalan, "harusnya aku percaya sama Tora dan berpikir negatif ke kamu. Tapi cemburu menutup hati dan pikiranku dari rasa percaya."
Aku merangkul Andri dan mengecup puncak kepalanya menenangkan. Melihat Sony di seberang sana tersenyum bahagia setelah mendengar penuturan Andri barusan.
"Gapapa, kak. Wajar kok kalo kakak cemburu. Itu tandanya kakak sangat mencintai kak Tora. Aku seneng dengarnya. Kak Tora udah aku anggap seperti kakak sendiri. Jadi kami gak ada hubungan apa-apa. Dan aku seneng kalian udah baikan, hingga sekarang menikah. Aku tambah senang lagi." Andri mengangguk mengerti mendengar penjelasan Sony dan kembali mengucapkan terima kasih.
.
Kami semua tersenyum bahagia melihat mereka yang sudah baikan. Dan terus ngobrol hingga kurang lebih setengah jam lamanya. Berbagai pertanyaan yang mereka lontarkan membuatku pusing. Mulai dari, kapan kami bulan madu, apakah kami ingin punya anak secepatnya atau tidak. Apakah kami akan menetap di Amerika atau Indonesia, dan sebagainya.
.
.
.
Sekarang kami sudah di kamar, baru selesai mebersihkan diri. Begitu pesta resepsi selesai, semua keluarga menyuruh kami untuk istirahat. Dan saat ini kami berdua duduk di pinggir tempat tidur, saling berhadapan. Andri meremat tangannya dan menunduk dalam diam. Aku mengelus pipinya yang merona kemudian menarik wajahnya agar menatap mataku.
"Kamu gak apa-apa jika kita melakukannya?" Tanyaku selembut mungkin supaya Andri tidak gugup. Dia mengangguk pelan sebagai jawaban.
"Kamu yakin?"
"Kita sudah menikah. Dan aku milikmu seutuhnya, jadi kita bisa—" Andri tidak melanjutkan ucapannya. Hanya kembali menundukan wajahnya merona.
Aku mengerti maksudnya, kembali mengangkat wajah merona di hadapanku dan mempertipis jarak di antara kami. Ciuman lembut segera kuberikan ke bibir yang kusukai ini. Beberapa kali kecupan, hingga melumatnya perlahan. Andri pun mulai membalas lumatan bibirku dan mengalungkan kedua lengannya di leherku.
Aku semakin menuntut dan memperdalam lumatan. Lidahku menerobos masuk ke dalam mulutnya mencari benda lembut yang ada di sana. Begitu mendapatkannya, segera kuhisap dan bermain-main dengannya. Suara kecipak dan erangan kecil yang keluar di antara ciuman panas kami seakan menjadi irama pembangkit nafsu yang tak tertahankan. Tanganku tak tinggal diam memasuki bathrobe yang dikenakan Andri. Mencari benda kecil di dadanya, mengelus dan mencubit benda tersebut, serta memilinnya perlahan. Ciumanku mulai turun ke leher dan menghisapnya hingga meninggalkan warna merah di sana. Perlahan turun ke bahu dan dadanya, mengulum salah satu benda kecil di sana dengan puas.
Tali pengikat bathrobe Andri pun sudah kutarik lepas dan menanggalkan pekaian tersebut agar aku lebih leluasa menikmati setiap lelukan tubuh kekasihku ini. Membaringkan Andri ke tempat tidur, aku kembali melanjutkan kegiatan. Sementara lidahku bermain di dada Andri, tanganku tak tinggal diam turun ke bawah mencapai sebuah benda yang mulai bereaksi di bawah sana. Mengelusnya dari tempo pelan hingga cepat membuat Andri mengeluarkan desahan-desahan nikmat yang kusuka. Setelah berdiri sempurna, aku mengganti tangan dengan mulut, kembali memanjakan milik Andri dan merangsangnya sampai benda tersebut memuntahkan muatannya mencapai tenggorokanku. Tanpa ragu aku menelan cairan putih tersebut, kemudian kembali memposisikan wajahku dengan Andri dan melumat bibirnya lagi.
Sekarang aku membiarkan dia yang mengambil alih posisi. Menikmati setiap sentuhan dan sapuan lidahnya di tubuhku, terutama pada kejantananku yang dari tadi sudah berdiri sempurna. Andri menaik turunkan kelapanya di sana, sesekali menjilati dan menghisapnya. Aku terkekeh ketika dia menggigit pelan dua buah benda lunak yang berada di bawah sana. Kebiasaannya yang suka menggigit pelan setiap anggota tubuhku.
Puas dengan pelayanan yang diberikan Andri sampai nafsuku memuncak. Aku menarik tubuhnya dan kembali membaringkannya ke atas kasur. Melebarkan kedua kakinya, kemudian merangsang analnya dengan lidahku. Tak lupa tanganku mengambil pelumas di atas meja kecil samping tempat tidur, yang dikasih tahu oleh kak Ziven sebelum aku memasuki kamar tadi. Katanya agar memudahkanku saat memasuki Andri nanti. Aku begitu beruntung memiliki kakak sepengertian dirinya.
Setelah mengoleskan pelumas ke anal Andri, aku menatap wajah gugupnya.
"Kamu sudah siap?" tanyaku lembut sambil membelai rambutnya. Dia tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban.
Segera aku memposisikan kejantananku pada analnya, kemudian memasukkannya perlahan. Kulihat Andri meringis menahan sakit begitu milikku masuk sedikit. Kembali kucium bibirnya guna memberikan ketenangan padanya. Setelah Andri cukup rileks, aku membenamkan milikku sepenuhnya ke dalam lubang sempit tersebut. Mulai memaju mundurkan pinggulku sambil mencari titik sensitif Andri.
Mendengar desahan nikmat keluar dari mulut Andri, aku mempercepat gerakan dan kembali menghujam titik sensitifnya yang sempat kusentuh tadi. Suara-suara desahan kami saling bersahutan memenuhi kamar. Aku terus menggerakan pinggul membuat kejantananku keluar masuk anal Andri.
Setelah cukup lama, aku mencapai klimaks dan memuntahkan muatanku. Mengatur napas sebentar, kemudian mengeluarkan milikku perlahan lalu menjatuhkan diri ke samping Andri yang masih menormalkan deru napasnya karena kami keluar hampir berbarengan. Aku mengecup keningnya dan beristirahat sejenak.
Setelah beristirahat sejenak kami kembali melanjutkan aktivitas malam pertama, kali ini dengan gaya yang berbeda.
Tbc
.