It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ngapusi apane ah? :-)
makasih... tau aja kalo aku cute cute gitu hahahahha
saya suka saya suka :-) :-) :-)
"Hey, wake up," suara Steve menjadi alarm pagiku.
"Give me five minutes," negoku masih nyaman di bawah hangatnya selimut.
"No, wake up now" tolaknya yang kini membuka cendela kamar dan sukses membuatku tidak nyaman.
"Ok. What are we doing today?" Ujarku menyerah, kubuka mata dan bersiap bagun.
"Just little vacation"
"Ok, but I want to make a deal first." Selaku yang masih duduk di tempat tidur.
"For what?" Tanyanya mendekat.
"Just a deal and I promise I will stay with you."
"What a deal then?"
"I won't to become Brian anymore,"
"What do you talking about? I'm pay..." ujarnya sedikit emosi.
"I won't you paying me anymore." Potongku.
"I want to become me, the real me. I can become your friend." Sambungku berusaha bernegosiasi dengan Steve.
"I don't need that. I do not need a friend, if you won't to become Brian anymore, then we're done."
"Steve, sampai kapan kamu akan terus hidup dengan cara seperti ini? Kamu berhak bahagia, buat kebahagiaanmu sendiri Steve." Jelasku mencoba membujuk.
"Kamu mengasihaniku?"
"No,..I...."
"Yeah, you pity on me. I hate it..."
"Steve, please.."
"You can go now, just go..."
"Steve I just...."
"I SAID GO...!!" Teriaknya mulai tak terkendali. Suasana ini sama dengan yang kemarin.
"No, I won't go anywhere. You need help Steve," tolakku berusaha membujuk.
"I don't. Who you think you are huh? Want to become hero?" Tanyanyw sarkastik.
"No, I just...."
"Just what? You are no one for me. Now GO,!"
"No, I won't." Tolakku keras.
"I hate being pitted." Ujar Steve langsung menarikku dari tempat tidur dan tanpa basa-basi menyeretku untuk keluar dari apartment.
"No, no, no Steve!!! Open the door,! Steve...!!" Teriakku begitu pintu apartment tertutup dan memisahkanku dengan Steve.
"Steve,!!" Aku masih belum menyerah dan terus menggedor pintu apartment.
"Please... open the door Steve, please." Ujarku untuk kesekian kali namun hasilnya tetap nihil. Pintu apartment masih terutup rapat.
"Steve, " panggilku lirih karena tenagaku sudah cukup terkuras karena sejak beberapa jam lalu aku terus berteriak.
"Semoga kamu bersedia mengunjungiku Steve," gumamku untuk yang terakhir. Aku menyerah.
X pov
Aku kembali. Aku kembali di tempat yang memang seharusnya aku ada. Tempat yang memulai segalanya dan mungkin juga akan mengakhiri segalanya. Tempat yang menyimpan banyak kenangan. Kenangan yang sedikit menyenangkan ataupun kenangan sulit dan sakit dirasakan.
"Good to see you again house," gumamku memandang sejenak rumah ini.
Bukan hal menyenangkan kembali ke tempat ini, tapi juga tak terlalu buruk untuk dilakukan. Nathan menjadi satu alasan terkuat untukku kembali. Aku merindukan anak itu. Aku merindukan gerakan semangatnya ketika berbicara dalam bahasa isyarat. Dia sangat mengagumkan.
"Nathan,?" Panggilku langsung saat memasuki rumah. Disana dia, membuka pinti dan dengan senyum langsung berlari menerjangku untuk mendapatkan pelukan.
"Wow, take easy boy," ujarku membalas pelukannya.
"I really miss you," sambungku melepas pelukannya dan melakukan hal yang selalu menyenangkanku, mengusak rambutnya.
"Miss you too" balasnya dengan bahasa isyarat yang langsung membuatku tersenyum. Aku merindukan gerakan tangannya.
"Rumah ini terlihat sepi, kemana penghuni lainnnya Nathan?" Tanyaku yang baru menyadari tak ada keributan khas rumah. Nathan hanya membalasnya dengan gelengan kepala.
"Why?" Tanyaku melihat Nathan menatapku teliti.
"Baju siapa ini?" Balasnya.
"Oh, ini milik temanku," jelasku.
"You looks not as you with this outfit" jelasnya yang entah kenapa justru membuatku sadar jika beberapa hari ini aku meninggalkan diriku sendiri.
"Aku akan menggantinya nanti." Balasku sejenak memandang tampilanku yang memang masih memakai pakaian pemberian Steve.
"I will show you something," selanya langsung menarik tanganku untuk mengikutinya menuju kamarnya atau kamar kami. Tidak mau banyak protes aku hanya mengikutinya.
"This one," ujarnya menunjukan apa yang dimaksudkannya.
"Gitar?"
"Yeah, aku membelinya kemarin,"
"Aku mengumpulkan uang selama satu tahun untuk membelinya." Lanjutnya seolah tahu arti pandanganku yang menuntut penjelasan asal uang untuk membeli.
"Kamu bisa memainkannya?"
"Aku sudah belajar memainkannya sejak dua tahun lalu." Jelasnya dengan gestur bangga.
"Want to play something for me?" Pintaku yang langsung dijawabnya dengan anggukan.
Aku tidak tertarik dengan segala hal tentang musik. Melihat Nathan memainkan gitarnya adalah hal pengecualian untukku. Dia terlihat sangat menikmati setiap petikan jarinya. Senyum dibibirnya merekah dengan wajar, tak ada yang berlebihan. Nathan hanya menikmati apa yang bisa ia nikmati, itulah yang aku artikan dari ekspresi wajahnya. Dia selalu menjadi pelengkap apapun yang kurang dalam hidupku. Dia adalah salah satu orang yang akan dengan bangga aku menyebutnya keluarga.
Telingaku tak terlalu sulit untuk menikmati suara gitar yang Nathan mainkan, karena memang dia ternyata cukup terlatih untuk memainkannya. Aku tidak bisa menyembunyikan senyum banggaku padanya. Melihat Nathan tumbuh tidak dengan cara yang sama denganku cukup membuatku lega. Aku sangat menyayanginya, dia mungkin keluarga yang tersisa untukku.
"What?" Tanyaku baru sadar jika Nathan telah selesai memainkan gitar dan sedari tadi dia melambaikan tangannya di depan wajahku.
"Kamu melamun?"
"Sorry, but really I enjoyed what you play. I'm proud of you."
"Thanks," balasnya tak sungkan memeberiku pelukan andalannya.
Prang...
"What's that?" Tanyaku mendengar benda jatuh yang sepertinya berasal dari ruang tengah.
Nathan hanya membalas dengan gelengan kepala.
"Tunggu disini,!" Titahku yang langsung diangguki Nathan.
Aku tahu ini bukan pertanda baik, dan aku tidak pernah salah. Di ruang tengah terlihat dua orang bertubuh besar tengah mengangkat beberapa perabotan rumah yang aku yakin punya nilai jual lumayan.
"Wow wow..... what's up bro?" Tanyaku berusaha menghentikan sejenak kegiatan mereka.
"Menyingkirlah atau aku rusak wajahmu? Aku yakin itu aset berhargamu." Jawabnya tak bersahabat. "Dan jangan membuat pekerjaan kami menjadi lama." Sambungnya kini disertai dorongan cukup keras.
"Santai bro, hanya bisa tolong beri penjelasan? Setidaknya akulah yang sejujurnya membeli sebagian barang yang kalian bawa."
"Ayahmu menjaminkan ini semua untuk hutangnya."
"Sudah aku duga," ujarku yang kini hanya bisa pasrah menerima akibat perbuatan pemabuk itu.
Tak butuh waktu lama kini beberapa benda di rumah sudah lenyap. Kualihkan pandanganku kebelakang dan melihat Nathan menatapku pasrah.
"Mungkin kamu harus berhenti sejenak menonton tayangan tv favoritmu," ujarku berusaha tak membuat suasana tak menyenangkan.
Nathan tetap menjadi Nathan. Dia hanya memberi senyum dan menunjuk gitar ditangannya pertanda dia masih bisa menikmati waktu di rumah tanpa tv.
"Yeah, itu lebih baik." Balasku menghampirinya.
"Sebaiknya kita tidur, sudah malam."
Saranku yang kini sudah lebih dulu berbaring di ranjang. Tidak butuh waktu lama untuk Nathan menyusulku. Malam ini aku tidur sebagai diriku sendiri. Aku dan Nathan di tempat tidur yang sama, inilah aku.
@lulu_75
@melkikusuma1
@liezfujoshi
@kikyo
@hendra_bastian
@hajji_Muhiddin
@sogotariuz
@junaedhi
@abiyasha
@Rama212