Numpang nulis cerita. Moga bisa sampai selesai. Update ga akan terlalu sering. Mungkin hanya bisa tiap weekend. Semoga suka ya...
Thanks,
Adhi
***pertama***
Aku hanya bisa terdiam ketakutan menyaksikannya berduel dengan lelaki itu. Sementara itu aku memegangi perutku yang terasa sakit akibat beberapa pukulan lelaki itu sebelumnya. Jika Tristan tidak segera datang, entah apa yang akan terjadi padaku.
Aku kini merasa sedikit menyesal karena telah memutuskan untuk pulang lebih dulu dari tempat kami bekerja. Seharusnya aku mendengarkan sarannya untuk menunggu sebentar dan pulang bersamanya.
Akhir-akhir ini suasana kota ini memang tidak lagi aman. Banyak preman berkeliaran mencari mangsa. Terutama pada mereka yang sepertiku, yang terlihat lemah dan tidak mampu melindungi diri sendiri. Dan malam ini seperti menjadi malam naas untukku, saat lelaki itu menghadang jalanku dan memintaku memberikan dompetku padanya. Aku memang ketakutan dan berusaha lari darinya, tapi dia sepertinya bisa dengan mudah menangkapku dan memukuliku.
Pada saat itulah Tristan datang sambil berteriak dan menyerang lelaki itu. Dia memang jauh berbeda jika dibandingkan denganku, dia seorang pemuda yang sangat kuat. Dia bahkan punya sabuk hitam karate, jadi untuk urusan berkelahi memang sudah jadi keahliannya.
Dalam kondisi seperti ini, aku masih sempat mengagumi sosoknya yang terlihat begitu gagah terkena cahaya lampu penerang jalan yang agak redup. Ini bukan berarti aku menyukai dia berkelahi, sebenarnya aku tidak suka itu. Dia bahkan terlihat tidak semenarik itu bagiku saat berkelahi. Dan asal tahu saja, dalam kondisi marah dia bisa terlihat sangat kacau, sangat menakutkan.
Tapi kali ini, aku merasa semacam nyaman melihat dia berkelahi untuk melindungiku. Meskipun ini bukan kali pertama dia melindungiku.
Aku harus mengakui, Tristan memiliki wajah yang cukup rupawan. Aku tidak pernah bosan melihat wajahnya yang terlihat keras tetapi manis saat tersenyum. Matanya yang besar terlihat bening saat dia menatapku. Hidungnya cukup mancung untuk ukuran lokal. Sedangkan bibirnya yang tipis dihiasi dengan kumis halus di atasnya, benar-benar sangat menggairahkan. Hanya dengan memikirkannya saja aku merasa seperti terbang ke alam khayalan. Karena itulah aku bahkan tidak berani menatap bibir itu terlalu lama, karena itu bisa membuatku benar-benar naik ke atas awan.
Entah sejak kapan aku memiliki perasaan antara kagum dan suka kepadanya. Sejujurnya aku tidak dapat mengingatnya secara pasti. Tapi satu hal yang pasti, semakin ke sini aku semakin bingung dengan perasaanku sendiri kepadanya.
Aku merasa ragu, apakah ini hanya perasaan kagum, atau jangan-jangan aku memang mulai suka dengannya. Tapi apakah itu mungkin? Dia lelaki, aku juga lelaki. Dan kami bersahabat sudah sejak lama. Bahkan seperti yang sering kudengar darinya, dia sudah menganggapku seperti saudaranya sendiri.
Akhir-akhir ini, aku merasakannya mulai menyesakkan dadaku. Dalam kondisi seperti itu aku sangat ingin bercerita masalahku tersebut kepadanya. Tapi seperti biasa, aku yang pengecut, aku yang merasa takut, mana bisa aku melakukannya. Entah aku takut dia akan marah kepadaku, atau aku takut dia akan meninggalkanku setelah itu.
Di samping itu, aku tidak ingin merusak apa yang sudah kami bina selama ini. Dia sahabat terbaikku, jadi apa yang kurasakan ini harus bisa kutepis jauh-jauh.
"Lari sana!" Tristan berteriak dengan lantang, sementara mataku mengikuti gerakan lelaki yang menjadi lawannya lari sempoyongan kabur darinya. Rupanya dia berhasil mengalahkannya.
Tristan tidak mengejarnya. Dia tampak mengusap keningnya. Mungkin itu adalah keringat yang mengalir hasil perkelahiannya. Sesaat kemudian dia lalu berpaling ke arahku, jalannya terlihat seperti sambil menahan rasa sakit di bagian tubuhnya. Aku pikir meski dia mencoba menyembunyikannya, dia juga pasti merasakan sakit bekas pukulan lelaki tadi yang sempat mengenai tubuhnya.
Begitu sampai ke tempat ku berdiri, dia tampak masih terengah. Harum lembut parfumnya bercampur dengan aroma keringatnya menggelitik hidungnya. Aku sangat menyukainya.
Melihat kondisiku, tangannya terulur untuk memeriksa perutku.
"Kamu tidak apa-apa?" Dia bertanya dengan nafas yang masih naik turun.
Aku secara refleks menepis tangannya dan mengangguk pelan sambil meringis menahan rasa sakit. Dia tampak tersenyum mengejek melihat reaksiku.
"Ayolah, Ton." Dia menarik tubuhku agar melangkah bersamanya. "Kamu pasti baik-baik saja. Masih bisa jalan kan?"
Aku tidak menjawab, tapi aku menurut dan mulai melangkah pelan di sampingnya. Aku rasa kami berdua berjalan sambil menahan rasa sakit.
"Sudah aku bilang kan?" Tristan menatapku sekilas, lalu kembali menatap ke depan. "Tunggu saja sebentar, urusanku tidak lama kan. Lagian kamu tumben mau buru-buru pulang."
"Aku agak pusing tadi.." aku berusaha mengajukan pembelaan diri, tapi suaraku terdengar begitu lirih di telingaku.
Dia tertawa kecil seolah kembali mengejekku, membuktikan dia masih bisa mendengar suaraku. Tawa seperti itu sudah sering kali ku dengar. Salah satu hal yang paling aku tidak suka darinya, karena itu membuatku merasa diremehkan olehnya.
"Sekarang, tambah lagi dengan sakit di perutmu," dia berkomentar lagi.
Kali ini aku diam saja dan terus berjalan. Aku sudah tidak punya energi untuk meladeninya. Biasanya, aku akan menimpali. Biasanya aku tidak akan mau kalah kalau soal adu argumen dengannya. Kenapa? Ya mungkin karena hanya itu yang aku merasa bisa mengimbanginya.
"Hei.. apa sangat sakit?" Tristan dengan suara sedikit khawatir. Mungkin dia merasa tidak biasanya aku diam begitu saja ketika dia mengejekku.
Aku sekilas menoleh dan meringis ringan, entah dia bisa melihatnya atau tidak. Aku rasa itu jawaban terbaik yang bisa aku berikan kali ini. Bagaimanapun perutku terasa makin ngilu. Tiga atau empat pukulan lelaki tadi meninggalkan sakit yang membekas di perutku.
"Dia tidak ambil apapun darimu kan?" Dia kembali bertanya.
"Tidak..." aku menjawab sesingkat mungkin dan menahan pergerakan di perutku sebisaku, karena sedikit saja gerakan di sana rasanya sangat ngilu.
"Ya syukurlah kalau begitu. Nanti sampai rumah coba kamu kompres perutmu itu dengan es." Tristan memberiku saran. "Perutmu tidak sampai berdarah kan?"
Aku menggeleng pelan sambil terus berjalan.
"Tapi, aku suka nih kalau kamu diam begini. Tidak berisik seperti biasanya." Dia tertawa sambil menepuk-nepuk keras punggungku.
Aku mendengus kesal dan menjauhi tangannya sebagai tanda protes. Bagaimanapun itu memicu rasa sakit di perutku. Dia tertawa melihat responku.
"Besok mungkin kamu tidak perlu masuk kerja dulu. Istirahatlah barang sehari. Nanti aku akan bilang kalau kamu sakit." Dia terus saja berbicara. Mungkin karena kali ini aku hanya bisa diam, jadi dia merasa senang dan berkesempatan menguasai pembicaraan.
Aku hanya bisa membiarkannya, rasanya tidak sabar ingin segera sampai di rumah. Sebenarnya, rumah kami tidak jauh dari tempat kami bekerja, hanya satu blok saja. Tapi karena mungkin aku berjalan sangat pelan, rasanya seperti tidak sampai-sampai.
Ditambah lagi sepanjang perjalanan Tristan terus saja berceloteh. Kadang dia memberi saran, kadang mengejek. Entahlah, aku tidak bisa mengingat semuanya. Aku terlalu fokus dengan rasa nyeri di perutku.
Ketika akhirnya kami sampai juga di depan rumahku, aku benar-benar merasa lega.
"Aku masuk ya.." aku dengan suara sangat pelan bergegas meninggalkannya menuju pintu rumahku. Sebelum membuka pintu aku masih sempat menoleh ke arahnya. Dia masih di sana, berdiri memandangiku seolah ingin memastikan aku tetap aman sampai masuk ke dalam rumah.
"Terimakasih." Aku mencoba meneriakkan kata itu. Aku tidak tahu dia bisa mendengarku atau tidak, karena suaraku rasanya seperti tidak keluar, tertahan oleh rasa nyeri yang makin menjadi di perutku.
Aku kemudian mengangkat tanganku dan berusaha tersenyum kepadanya. Dia membalas dengan mengangkat tangannya sambil tersenyum juga. Senyumnya itu seperti biasa terlihat sangat manis, sejenak senyumannya itu bisa membuatku lupa dengan rasa sakit di perutku.
Perlahan ku buka pintu rumahku, kupastikan dia sudah berlalu sebelum aku menutupnya kembali. Sesaat aku sempat melihatnya berjalan melanjutkan langkahnya menuju ke rumahnya di ujung jalan sana. Saat sosoknya hilang ditelan gelapnya malam, aku menutup kembali pintu secara perlahan, dengan maksud agar kedatanganku tidak mengganggu orang di rumah yang sepertinya sudah terlelap.
http://lovelygayman.blogspot.com/2016/01/roman-dua-sekawan-1.html
Comments
Hari itu adalah hari pertama kali masuk sekolah setelah masa libur semester yang panjang. Mungkin karena sudah mulai terbiasa bangun siang di hari-hari libur sebelumnya, pagi itu juga aku bangun sedikit siang.
Saat menatap ke arah jam di dinding, aku langsung merasa pasrah jika akhirnya aku sampai ketinggalan bus sekolah. Tapi bagaimanapun aku tetap berusaha secepat mungkin bersiap-siap, tanpa mandi, hanya cuci muka dan gosok gigi sebentar aku sudah siap hanya dalam lima menit kemudian.
Pagi itu kondisi rumah memang sudah begitu sepi. Ibuku sepertinya sudah pergi ke tempat dia bekerja. Seperti biasa sebelum pergi ibuku akan mengetuk pintu kamarku, memastikanku bangun dan tidak terlambat berangkat ke sekolah. Hari ini dia pasti sudah melakukan hal yang sama, tapi mungkin aku tertidur kembali. Sementara kakak perempuanku juga entah menghilang kemana. Dia memang sudah bekerja, tetapi biasanya agak siang dia baru berangkat.
Sinar matahari sudah terasa begitu menyengat, menandakan hari sudah mulai beranjak siang. Aku bergegas setengah berlari menuju halte tempat aku biasa menunggu bus sekolah yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Masih terengah-engah dan berkeringat aku berdiri gelisah menatap ke arah bus sekolah biasa datang. Aku khawatir kalau-kalau bus sekolah itu sudah lewat sebelumnya. Apalagi suasana halte juga sudah sepi. Hanya ada aku seorang diri. Sebentar kemudian aku mencoba duduk, tapi tidak lama kembali bangkit berdiri. Aku mengulang-ulang antara duduk dan berdiri sambil berusaha meyakinkan diri bahwa aku masih belum terlambat.
Namun ketika lima menit sudah berlalu, dalam pikiranku sudah mulai berpikir bahwa hari ini aku bakal bolos sekolah. Mulai juga kusiapkan juga alasan yang harus sampaikan jika aku sampai diintrogasi oleh pihak sekolah. Pikirku yang penting ibuku tidak sampai tahu, karena itu adalah hal yang paling mengerikan. Ibuku bisa marah besar jika aku sampai bolos sekolah.
Hanya butuh semenit tambahan saja, dan aku sudah putus asa. Aku mulai melangkah untuk meninggalkan halte ketika seorang anak laki-laki datang dari arah ke mana aku akan pergi.
Dia tampak mengenakan baju sekolah yang terlihat sangat bagus dan masih baru. Tas yang dia pakai juga terlihat mahal dan baru. Dia berhenti dan berdiri beberapa langkah dari tempatku berdiri. Dia kemudian tampak santai memandangi arah datangnya bus sekolah. Aku tidak melihat raut khawatir di wajahnya, padahal dia datang jauh lebih siang dibandingkan denganku.
"Siapa sih anak ini? Kok aku baru pertama kali lihat ya?" Aku bertanya-tanya dalam hati. "Dia pasti kesiangan juga nih." Aku sedikit lega, mungkin karena merasa ada teman kesiangan. Padahal, waktu itu aku bahkan tidak tahu dia sekolah di mana.
Kedatangan anak itupun sukses membuatku membatalkan tujuanku awalku untuk menyerah. Merasa mendapat teman, aku memutuskan untuk menunggu lagi saja, barangkali memang bus sekolah masih akan datang dalam beberapa saat ke depan dan aku bisa sampai sekolah pada waktu yang tepat.
Sambil menunggu, sesekali aku memandangi anak itu. Tetapi sialnya, setiap kali itu juga dia kebetulan sedang melihat ke arahku. Aku bisa merasakan panas di pipiku yang pasti memerah akibat rasa malu karena ketahuan. Aku memalingkan pandanganku ke arah datangnya bus sekolah, mencoba membuatnya terlihat natural.
"Kamu kesiangan juga ya?" Aku mendengar suaranya untuk pertama kali. Aku menoleh ke arahnya.
"Iya.." aku menjawab sambil mengangguk. "Kamu baru ya di sini? Aku belum pernah melihatmu selama ini." Aku memberanikan diri untuk bertanya, meskipun aku melakukannya tanpa menatap wajahnya.
"Iya." Dia menjawab singkat.
"Oh.." aku mengangguk-angguk. "Baru pindah?"
"Sudah dari seminggu lalu."
"Oh.." lagi-lagi itu yang keluar dari mulutku. "Tinggal di mana?" Aku seperti tidak ingin berhenti bertanya.
Dia kemudian mengarahkan tangannya ke arah jalan rumahku. "Di ujung jalan itu."
"Benarkah?" Aku kembali bertanya setengah tidak percaya.
Dia hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaanku.
"Aku juga tinggal di jalan situ. Kamu tahu rumah dengan pohon jambu yang bedar di depannya?" Aku mencoba menggambarkan rumahku.
Dia tampak diam mendengarnya, seolah sedang mengingat-ingat rumah yang sedang kugambarkan, tetapi sepertinya dia tidak berhasil mengingatnya.
"Kalau kamu rumah yang mana?" Aku kembali bertanya karena dia malah jadi diam.
"Rumahku yang paling ujung." Dia kembali menjawab dengan singkat.
"Oh..." aku tertegun sejenak. Rumah yang paling ujung itu seingatku hanya dihuni oleh seorang kakek yang dikatakan aneh oleh hampir semua orang di lingkungan kami. Itu karena dia tidak banyak bergaul, dan lebih sering mengurung diri di dalam rumahnya. Entah bagaimana dia bisa hidup sendiri dengan cara seperti itu.
Tapi sebenarnya, aku tidak tahu cerita lengkap tentang kakek itu. Karena dia memang sudah di rumah itu sejak aku lahir. Dan lagi ibuku juga selalu menasehatiku agar aku tidak bermain di sekitar rumahnya, agar aku tidak terkena masalah. Sampai saat inipun aku masih menuruti nasehati itu.
"Jadi ternyata anak ini tinggal bersama kakek aneh itu?" Aku bertanya pada diriku sendiri.
"Kamu ngomong apa?" Anak itu tiba-tiba bertanya mengagetkanku.
"Gawat!" Aku berseru dalam hati. "Apakah tadi aku terlalu keras mengatakannya? Apakah dia bisa mendengarnya?"
"Hei?" Dia kembali menegurku.
"Ah, tidak? Aku tidak bilang apa-apa kok..." aku berusaha menutupi.
Dia menggerakkan maju bibirnya, menghembuskan nafas sambil mengangguk-angguk.
"Sepertinya, kita sudah terlambat untuk mendapatkan bus sekolah." Aku kembali membuka topik pembicaraan lainnya.
Dia memandang sejenak ke arah datangnya bus. "Benarkah?" Kemudian dia menatapku sekilas. "Kalau begitu aku pulang saja." Dia lalu tampak beranjak pergi.
"Lho.. Tunggu!" aku berusaha menahannya. "Apa kamu mau pulang begitu saja?" Sejujurnya, aku sedikit heran dengan responnya itu. Dia sepertinya santai saja untuk membolos sekolah.
Dia berhenti lalu menoleh kearahku. "Iya." Dia menjawab dengan nada cuek. "Aku mau pulang dan tidur lagi.." dia kembali berpaling dah melangkah pergi.
"Orang tuamu tidak masalah?" Aku sedikit mengeraskan suaraku.
Dia kembali berhenti. Tapi tidak menoleh ke arahku. Dan dia seperti berdiri terpaku di sana. Beberapa saat kemudian dia memandangku dengan mimik yang sedih.
"Oh, maksudku..." aku mencoba mengoreksi ucapanku. "Apakah kamu tidak akan dimarahi orang tuamu karena bolos sekolah?"
Raut kesedihan masih tampak di wajahnya. Aku sedikit merasa bersalah dan mulai berpikir jangan-jangan orang tuanya sudah tidak ada.
"Ibuku bisa menghukumku kalau tahu aku bolos sekolah..." aku berkata sedikit pelan. Agak memalukan sebenarnya mengatakan ini pada orang yang belum kukenal. Tapi aku terpaksa mengatakannya, untuk menutupi rasa bersalahku.
"Apa? Ibumu menghukummu?" Kali ini dia bertanya dengan mimik keheranan.
Aku mengangguk pelan. Kulihat kemudian dia berjalan mendekat.
"Ibumu menghukummu karena kamu bolos sekolah?" Dia bertanya.
Aku lagi-lagi hanya mengangguk. Rasanya aku sudah membuat bahasan yang salah. Tidak seharusnya hal ini aku bicarakan pada orang yang baru kukenal.
"Kenapa kamu sepertinya heran begitu?" Aku balik bertanya, mencoba mengalihkan fokus pembicaraan kepadanya.
Dia tidak menjawabnya. Dia hanya memandangiku sekilas dan tersenyum sambil memandang ke arah depan. Itu senyum pertama yang aku lihat di wajahnya. Dari samping senyuman itu terlihat sangat manis, membuatku ingin lebih dekat dengannya.
"Kamu beruntung..." dia seperti menerawang ke arah jauh.
Aku memandanginya tanpa mengerti maksud perkataannya.
"Ibuku.." dia berhenti sejenak. "bahkan mungkin tidak peduli aku sekolah atau tidak..."
Aku tertegun mendengar ucapannya kali ini. Tiba-tiba saja aku dapat memahami alasan kenapa dia bisa dengan mudah memutuskan untuk bolos sekolah.
Kami kemudian terdiam untuk beberapa saat, seolah kami sedang merenungi kondisi kami masing-masing.
"Aku biasanya pergi ke game center langgananku." Aku memecahkan kesunyian.
"Ya?" Dia seperti baru tersadar dari lamunannya.
"Kalau ketinggalan bus sekolah, aku tidak akan pulang ke rumah. Biasanya aku akan menghabiskan hariku di game center langgananku." Aku menjelaskan.
"Oh ya? Kamu suka maen game juga?" Dia mendadak tampak senang.
Aku mengangguk sambil tersenyum karena akhirnya aku berhasil membuatnya kembali tersenyum. Dan sepertinya kami berhasil menemukan sebuah kesamaan di antara kami.
"Kalau begitu, apa kita bisa ke sana sekarang?" Dia bertanya lagi kepadaku. Sebuah pertanyaan yang tidak akan aku sia-siakan.
"Iya! Tentu saja. Itu ide yang jauh lebih baik dari pulang ke rumah, kan?" Aku juga sebenarnya merasa senang karena tidak perlu pulang ke rumah. Ditambah lagi aku tidak membolos sendirian kali ini.
Aku segera melangkah dengan diikuti olehnya ke tempat yang kami sepakati itu dengan perasaan antusias.
http://lovelygayman.blogspot.co.id/2016/01/roman-dua-sekawan-2.html
"Anton!" Suara Ibu terdengar melengking dari arah dapur.
Aku pun segera tersadar dari lamunanku tentang awal kisah pertemuanku dengan Tristan. Kisah yang masih kuingat setiap detilnya dengan sangat jelas, meskipun itu terjadi sekitar lima tahunan yang lalu. Tepatnya saat kami masih duduk di bangku sekolah menengah pertama.
"Anton!" Lagi-lagi Ibu berteriak memanggilku dengan suaranya yang melengking. "Kamu sudah bangun kan?"
"Ya!" Aku berusaha berteriak, tapi perutku mengejang sesaat setelahnya dan suaraku menjadi tertahan. Aku segera memegangi perutku. Entahlah apa Ibu bisa mendengat jawabanku atau tidak. Yang jelas aku harus bergegas ke dapur, sebelum Ibu kembali berteriak.
Aku beranjak bangun, membuka pintu dan secepatnya menuju dapur. Tetapi sepertinya aku tidak bisa berjalan dengan cepat karena rasa sakit di perutku.
"Anton!" Ibu berteriak lagi. Ya itulah Ibu, dia akan terus berteriak sampai aku menjawabnya. Ini berarti suaraku tidak sampai terdengar olehnya.
Sesampainya di sana, aku segera menarik kursi dan duduk di meja makan dengan perlahan. Ibuku sekilas melihat ke arahku. Sesampainya di dapur dapat kulihat Ibu masih sibuk menyiapkan bekalnya. Sementara kakak perempuanku duduk di meja makan sambil menikmati roti bakar.
"Ada apa dengan perutmu?" Kakak perempuanku bertanya keheranan karena melihatku masuk dengan memegangi perutku. Rupanya aku memang tidak bisa menyembunyikannya dari mereka.
Ibu langsung ikut memandangiku saat aku perlahan menarik kursi dan duduk di sebelah kakakku.
"Tidak. Memang kenapa perutku?" Aku mencoba berbohong. Tapi sepertinya mereka bisa mendengar dari suaraku bahwa aku sedang menahan rasa sakit.
Ibu kembali berpaling meneruskan pekerjaannya setelah memandangiku cukup lama.
"Jangan bilang kamu ikut-ikutan berkelahi dengan Tristan." Ibu tiba-tiba terdengar berkomentar dengan nada setengah mengancam. "Ibu sudah bilang berkali-kali kan?"
Aku menatapnya ke arahnya dengan tatapan protes. Aku tahu, Ibu tidak suka dengan Tristan. Dari dulu Ibu selalu memarahiku jika aku bergaul dengan anak itu. Tapi nyatanya aku memang tetap berteman dengan Tristan. Dia bahkan satu-satunya sahabat yang kupunya hingga saat ini. Mungkin karena hanya Tristan saja yang seumuran denganku di lingkungan tempat tinggalku.
Aku menatap ke arah kakak perempuanku yang di sebelahku. Memberinya isyarat bahwa yang terjadi tidak seperti yang Ibu tuduhkan. Kakak perempuanku ini memang sangat sering menjadi tempat aku berlindung, saat Ibu sedang marah kepadaku. Tetapi kali ini dia hanya memberikan isyarat agar aku diam dan jangan memperkeruh suasana.
"Ibu tidak suka kamu bergaul dengan dia. Dia jelas-jelas membawa pengaruh buruk kepadamu."
Aku kembali memandang ke arah kakak perempuanku, seolah meminta persetujuannya untuk membantah. Tapi dia tampak menggeleng, dia ingin aku tetap diam.
Akupun hanya menarik nafas panjang, menelan kembali apa yang ingin kuungkapkan. Sejenak kami bertiga terdiam. Beberapa saat berlalu dalam keheningan. Aku mulai berpikir pembicaraan tentang Tristan sudah selesai.
"Jadi, apa yang kalian lakukan semalam?" Tetapi Ibu tiba-tiba kembali bertanya.
"Ini bukan karena Tristan, Bu.." aku yang tidak tahan lagi menjawab dengan suara parau. Aku tidak suka jika pada akhirnya Tristan selalu saja disalahkan oleh Ibu.
"Oh, jadi kenapa perutmu itu?" Ibu terus saja bertanya seolah sedang menginterogasiku.
Aku menarik nafas panjang lagi. Rasanya banyak yang ingin aku katakan tetapi entah kenapa seperti tidak bisa keluar dari mulutku.
"Bu, sudahlah. Mungkin perut Anton memang tidak apa-apa.." Kakakku yang sedari tadi hanya terdiam, kali ini mencoba membelaku.
Ibu terdiam sesaat dan nampak meneruskan pekerjaannya. Tapi suasana seperti ini sangat terasa tidak mengenakkan bagiku. Sangat tidak enak ketika dicurigai oleh Ibu sendiri.
"Semalam saat pulang kerja ada preman ingin mengambil dompetku. Aku lari dan dia menangkapku lalu sempat memukuli perutku beberapa kali. Untunglah Tristan datang menolongku..." aku akhirnya buka suara, dan berusaha menekankan kalimat terakhirku untuk membela Tristan.
Ibuku tampak menatapku tajam kali ini, seolah ingin menyelidiki apakah aku sedang berbohong atau tidak. Aku tidak bisa memandangnya terlalu lama. Kupalingkan wajahku ke arah kakakku. Dia tampak juga sedang memandangiku dengan tatapan yang juga sama, seperti sedang mencari tahu apakah aku sedang berbohong atau tidak.
Baiklah, aku menarik nafas lagi dan berusaha menutup mulutku rapat-rapat. Aku memang beberapa kali pernah berbohong. Tapi itu kulakukan supaya Ibu tidak lagi menjelek-jelekkan Tristan. Bagaimanapun Tristan tidak bersalah. Pada beberapa kasus entah kenapa Ibu selalu saja menjadikannya sebagai pelampiasan.
Kakakku mengulurkan tangannya untuk memeriksa perutku. Aku mengeluh ketika rasa ngilu kembali terasa di sana.
"Apa kamu benar-benar baik saja?" Kakakku dengan nada khawatir. Dia memaksa menyingkap kaosku dan melihat kondisi perutku, sementara aku hanya meringis dan tidak bisa berbuat banyak.
Beberapa saat kemudian, kakakku sudah beranjak dan tampak mengambil es dari kulkas. Dia kemudian kembali dan mulai mengompress perutku, sementara Ibu juga mendekatiku untuk melihat dari dekat.
Dalam kondisi seperti ini, entah kenapa lagi-lagi aku teringat dengan Tristan. Dia sudah memberiku saran agar mengompress perutku dengan es semalam. Mungkin jika aku menuruti nasehatnya itu, pagi ini aku tidak perlu menghadapi situasi seperti ini.
"Dengarkan Ibu baik-baik, Anton. Siapa kira-kira yang memberimu ide untuk bekerja di bar malam itu? Itu ide yang sangat buruk. Kenapa kamu tidak mendengarkan Ibu?" Ibu tahu persis aku bekerja di sana karena aku ingin mengikuti Tristan. Tapi itu tidak berarti Tristan mengajakku untuk bekerja di sana, justru aku sendiri yang minta kepadanya untuk merekomendasikanku di sana.
Aku diam saja. Aku tidak ingin memperpanjang pembicaraan ini. Pembicaraan yang selalu saja berakhir dengan menyudutkan Tristan di bagian akhirnya. Sementara itu kakakku dengan telaten mengompress perutku, seolah tidak lagi berkeinginan untuk ikut perdebatan yang terjadi antara aku dan Ibu.
Beberapa waktu berlalu, perutku mulai terasa lebih baik. Mungkin rasa dingin itu berhasil membuatku menahan rasa sakitnya, atau memang rasa sakitnya sudah mulai berkurang. Sementara Ibu terlihat sudah menyelesaikan roti bakarnya. Dia meletakkan tepat di meja di depanku, kemudian dia duduk dan memandangiku.
"Anton, ingatlah tinggal kurang dari 1 bulan lagi ujianmu untuk masuk universitas akan berlangsung. Seharusnya kamu fokus dengan hal itu. Berhentilah bekerja di bar malam itu." Ibu memintaku hal yang sama untuk kesekian kalinya.
"Bu, kita sudah pernah membahas ini kan? Kita perlu uang. Aku harus bekerja." Aku memberi alasan.
Kakakku menghentikan sejenak tangannya. "Ton, kamu kan bisa cari kerjaan lain. Aku rasa kali ini ada baiknya kamu mendengarkan Ibu." Kakak ikut berkomentar. Aku diam saja, saat ini posisinya seperti dua lawan satu.
Saat kuarahkan pandangan pada Ibu, kulihat wajahnya tampak berbinar mendengar pernyataan kakakku. Mungkin dia merasa ada yang mendukungnya kali ini. "Ngomong-ngomong soal pekerjaan, Ibu punya teman yang sedang membutuhkan pekerja. Ibu rasa kamu bisa mengambil pekerjaan itu. Lagi pula tempat kerjanya dekat dengan universitas.."
"Aku tidak akan pergi kemana-mana, Bu," aku segera memotong pembicaraannya.
"Ayolah, Ton!" Ibuku setengah memohon. "Apa yang membuatmu keras kepala begini" dia sedikit mengeluh.
"Anton.." kakak ikut memanggil namaku. "Pikirkan dulu, jangan langsung menolak."
Aku terdiam. Bisa kulihat kesedihan tergurat di wajah Ibu saat aku keras kepala seperti ini. Dia tampak lebih tua daripada umur aslinya. Mungkin beban hidupnya sebagai orang tua tunggal telah meninggalkan bekas yang begitu terlihat di wajahnya.
Bagaimanapun aku pada akhirnya tidak akan sampai hati untuk menambah beban hidupnya. Aku segera berdiri dan menuju kepadanya. Aku peluk dia dari belakang.
"Bu, sudahlah. Nanti ibu terlambat." Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Kukedipkan mataku pada kakakku mencari dukungannya. Kakakku menggeleng pelan tanda dia tidak setuju denganku.
Sementara Ibu mengangkat tangannya untuk mengusap pipiku. "Pikirkanlah apa yang ibu katakan tadi ya.. kamu jangan langsung menolak begitu saja.." Ibu masih sempat memintaku, tapi kali ini dengan nada yang lebih lembut. Kakakku tampak cemburu melihat ke arahku.
Aku tersenyum menang, kueratkan pelukanku, dan kucium pipi Ibu sekilas. "Baiklah, Bu. Aku akan memikirkannya dulu." Aku mencoba sedikit mengalah kepadanya. "Nah, sekarang bukankah sudah waktunya ibu pergi bekerja?" Aku bertanya.
"Bagaimana ibu bisa pergi, kalau kamu memeluk ibu seperti itu." Kakakku memotong dengan nada cemburu.
Ibuku tertawa kecil sambil menepuk2 pipiku. Sementara aku menjulurkan lidahku mengejek kakakku di sana yang tampak gemas kepadaku.
Aku melepaskan pelukanku sesaat kemudian sambil tertawa kecil ke arah kakak. Ibupun segera bangkit berdiri dan segera menuju pintu. Aku dan kakak mengikutinya untuk mengantarnya sampai depan pintu.
"Jangan lupa makan sarapanmu ya, Ton." Ibu berpesan kepadaku. Aku mengangguk sambil tersenyum. "Kamu juga, Liz." Ibu berpesan pada kakak.
"Ah, aku antar Ibu dulu ya. Hari ini aku masuk agak siang. Jadi aku sempat mengantarkan Ibu.." kakakku segera menuju mobil tua warisan Ayah.
Ibu hanya mengangguk dan mengikuti kakak masuk ke dalam mobil tua yang terparkir di halaman rumah kami. Aku menutup pintu rumah sesaat setelah mobil itu meninggalkan halaman.
Aku berjalan pelan menuju meja makan di dapur. Perutku memang masih terasa sakit, tapi kini tambah dengan rasa lapar. Sesampainya di sana, dengan lahap kumakan beberapa lembar roti bakar sekaligus, sambil pikiranku kembali melayang menuju Tristan.
http://lovelygayman.blogspot.co.id/2016/01/roman-dua-sekawan-3.html
"Mampir yuk, Tan?" Aku menawarkan kepada Tristan.
Dia hanya tersenyum dan menggeleng.
"Ibuku sedang tidak di rumah kok?" Aku berharap dia tidak menolak karena takut Ibuku.
Dia terdiam sebentar, seolah berpikir.
"Aku tidak bohong. Ibu dan kakak sedang di tempat kerja mereka masing-masing. Mungkin baru nanti sore mereka pulang." Aku mencoba meyakinkannya.
Akhirnya dia tersenyum dan mengangguk mengiyakan tawaranku kali ini. Diapun kemudian mengikuti langkahku masuk ke dalam rumah. Kami langsung saja menuju kamarku. Aku segera menyalakan musik ketika masuk, lalu berbaring di atas tempat tidur. Sementara Tristan tampak duduk di depan meja belajarku.
"Oh iya, kalau kamu mau minum. Kamu ambil sendiri aja ya, Tan? Lemari esnya ada di dapur." Aku memberitahunya. Aku sudah terlanjur nyaman dengan posisiku sekarang.
Tristan tampak mengangguk-angguk sambil mendengarkan alunan musik.
Beberapa saat kemudian aku membuka pembicaraan. "Tan, ayolah rekomendasikan aku di tempat kerjamu itu."
"Ibumu pasti akan memarahimu." Tristan menjawab singkat.
"Ibuku memarahiku hampir pada semua hal." Aku mendengus.
Tristan tertawa kecil mendengar komentarku. Kami kemudian terdiam lagi menikmati alunan musik yang mengalun lumayan kencang.
"Tan!" Aku kembali memanggil namanya beberapa saat kemudian.
"Apa sih?" Dia menatap ke arahku.
"Ayolah!" Aku merengek.
"Kemana?" Dia bertanya seolah dia tidak mengerti yang kumau.
Dengan sedikit kesal kulemparkan sebuah bantal ke arah mukanya. Dia segera menangkap bantal itu dengan tangan kirinya. Lalu melemparkan balik bantal itu ke arahku, lebih kencang tentunya!
Aku segera melindungi wajahku dengan kedua tanganku.
"Bagaimana sih rasanya, punya ibu seperti ibumu?" Tristan tiba-tiba bertanya tanpa memandangku. Aku yang terkejut mendengarkan pertanyaannya segera saja melihat ke arahnya.
Berbarengan dengan ini playlist musik memutarkan lagu dengan irama yang slow. 'Wah, momennya bisa pas sekali seperti ini ' aku bergumam sendiri.
"Kamu kan bisa lihat sendiri kondisiku. Betapa aku tersiksa..." aku menjawab sekenanya. "Aku tidak bisa menikmati hidup, Tan. Ini ga boleh itu juga ga boleh! Semua serba diatur..."
Tristan menatapku seolah menerawang jauh ke dalam diriku. "Tapi itu kan tandanya ada perhatian dari ibumu. Dia sangat peduli kepadamu kan, makanya dia melakukan itu..." tiba-tiba aku merasa omongan Tristan ini ada benarnya. Bagaimanapun cerewetnya ibuku, toh aku tahu dia sangat menyayangiku dan aku juga sangat menyayanginya. Aku bahkan tidak tahu harus bagaimana jika ibu tidak ada.
"Apa kamu pernah, sehari saja tanpa kehadiran ibumu?" Tristan bertanya di tengah alunan musik yang terasa begitu pas dengan momen ini. Sebenarnya aku jadi sedikit curiga, jangan-jangan Tristan begini karena pengaruh musik yang sedang mengalun syahdu di dalam kamarku ini?
"Tidak..." aku menjawab pelan. "Tapi kamu tahu kan? Aku sudah begitu lama hidup tanpa ayahku. Jadi, Ibu sudah seperti ayah juga bagiku. Setidaknya kamu lebih beruntung kan karena kedua orang tuamu masih lengkap..." aku berkata semakin lirih pada kalimat yang terakhir.
Aku sendiri tidak terlalu ingat dengan ayahku. Aku masih terlalu kecil untuk bisa mengingat itu semua. Yang kutahu dari Ibu dan Kakak adalah bahwa ayahku meninggal karena serangan jantung. Dan semenjak itu kami harus berjuang menghadapi hidup tanpa adanya seorang kepala keluarga.
"Maafkan aku, Ton. Jika aku membuatmu bersedih..." Tristan memandangiku dengan wajah penuh penyesalan.
Aku tersenyum kepadanya. Suasana di kamar terasa begitu berbeda dibandingkan beberapa saat yang lalu gara-gara obrolan ini. "Tidak apa-apa kok, Tan. Lagi pula aku sudah terbiasa seperti ini... " aku mencoba membuatnya untuk tidak merasa bersalah.
"Terbiasa ya... aku juga terbiasa hidup seperti ini." Ujarnya pelan sambil memalingkan mukanya dariku. Ada gurat kesedihan yang sedang coba dia sembunyikan dariku. Kesedihan yang sepertinya sudah dari lama sekali dia pendam sendiri.
Sejujurnya, meskipun kami begitu akrab, betapapun seringnya kami pergi bersama... tapi sampai saat ini aku tidak berani untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarganya? Aku hanya tahu dia tinggal bersama kakeknya. Tapi aku tidak tahu kemana orang tuanya. Dia memang pernah menunjukkan foto kedua orang tuanya kepadaku, tapi dia tidak bercerita lebih banyak. Tambah lagi aku selalu merasa tidak enak untuk bertanya-tanya. Yang jelas, hingga saat ini, setelah bertahun-tahun aku menjadi temannya, aku bahkan tidak pernah melihat secara langsung kedua orang tuanya.
Jadi sampai dengan saat ini, kemana keluarganya sebenarnya masih merupakan misteri untukku.
"Kamu pasti sedang bertanya-tanya... kemana sebenarnya kedua orang tuaku kan?" Tiba-tiba Tristan menoleh ke arahku. Dan untuk pertama kalinya, kulihat matanya berkaca-kaca saat menatapku. Astaga, kenapa aku malah mengagumi wajahnya yang terlihat sangat manis saat ini. Untuk pertama kalinya juga aku bisa melihat sisi lain dari dirinya yang selama ini aku kenal sangat cuek dalam menghadapi masalah apapun. Aku segera berusaha mengalihkan fokusku dari wajahnya.
"Maafkan aku Tan, tapi sebenarnya sejak lama aku memang ingin tahu..." aku segera bangkit dan duduk menghadap ke arahnya.
Dia tampak kembali memalingkan mukanya dariku. Alunan musik di playlist ini memang benar-benar pas dengan suasana yang sedang terjadi, seolah-olah kami sedang bermain di salah satu scene sinetron televisi.
"Sebenarnya aku juga tidak terlalu tahu mereka di mana... " Tristan mengucapkannya sedikit pelan, membuatku berusaha keras untuk bisa memahami apa yang dia katakan dari gerakan bibirnya. "Maksudku, aku tidak tahu alamat pasti tempat tinggal mereka. Aku juga tidak tahu alasan pasti kenapa mereka meninggalkanku di sini..."
"Memang mereka tinggal di mana?" Aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
"Ayahku sedang di Belanda... kabarnya dia sedang menempuh pendidikan doktoralnya di sana..." Tristan menjawab pertanyaanku sambil menoleh ke arahku. Wajahnya tampak tidak sesedih tadi. Mungkin kali ini dia sudah mulai bisa menguasai dirinya sendiri.
"Wah... hebat dong ayahmu..." aku mengangguk-angguk kagum. Sesaat kemudian aku tersadar untuk menanyakan ibunya, "lalu ibumu ikut bersama ayahmu tinggal di sana?" Aku dengan sotoy-nya menebak.
Tristan menggeleng pelan. "Ibuku tinggal di Singapura. Dia bekerja di salah satu rumah sakit di sana."
"Wah... ibumu dokter?" Aku terkagum-kagum lagi. Karena ternyata dia memiliki keluarga dengan profesi yang wah menurutku. Ya, jika dibandingkan ibuku yang hanya bekerja di sebuah toko kue...
"Iya, ibuku dokter spesialis syaraf." Tristan membenarkanku.
Kami kemudian terdiam beberapa saat. Sampai dengan di sini, aku merasa tidak ada yang salah dengan keluarganya. Kupikir kedua orang tuanya pastilah sangat sibuk, sehingga dia terpaksa dititipkan untuk tinggal bersama kakeknya di sini.
"Kalau tebakanku benar, kakekmu itu ayah dari ibumu kan?" Aku kembali bertanya.
Tristan mengangguk pelan. "Bisa dibilang begitu."
"Maksudmu?" Aku agak kurang paham dengan kalimatnya yang terakhir.
"Sebenarnya, dia ayah tiri dari ibuku. Ibuku sendiri kedua orang tua kandungnya sudah meninggal... " Tristan menjelaskan.
"Oh..." aku mengangguk-angguk. Aku benar-benar baru tahu semua cerita ini, setelah sekian lama aku berteman dengannya.
"Ada yang bilang..." Tristan melanjutkan. "Aku ini anak haram..." dia berhenti sementara aku melongo karena kaget dengan apa yang baru saja dia katakan.
Tristan memalingkan muka dariku. "Aku harap ini tidak membuatmu akan berubah sikap kepadaku..."
"Bagaimana bisa? Tentu saja aku tidak peduli dengan omong kosong itu..." aku berusaha menyembunyikan rasa kagetku dengan apa yang baru saja kudengar. Ternyata banyak sekali hal yang aku tidak tahu dari anak ini.
"Tapi bagaimana kalau semua itu memang benar, Ton?" Tristan menatapku tajam. "Bagaimana kalau aku ini memang anak haram?" Mata Tristan terasa menembus ke dalam mataku, seolah dia sedang mencari tahu apa yang sedang aku fikirkan kini tentangnya.
Aku terdiam. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Jadi apa maksud dia sebenarnya dengan menyebut dirinya sebagai anak haram?
"Ayah dan ibuku bertemu saat mereka sama-sama kuliah di fakultas kedokteran." Tristan kembali bercerita. "Sebagai pasangan muda-mudi yang dimabuk asmara, mereka melakukan sebuah kesalahan. Dan aku adalah hasil dari kesalahan tersebut..."
Deg! Apa? Jadi itu yang dia maksudkan dengan istilah anak haram. Jadi dia...
"Ayah dari ibuku menuntut ayahku untuk menikahi ibuku, sementara kedua orang tua ayahku menentang itu. Ibuku sendiri berkali-kali berusaha untuk menggugurkanku, tetapi sepertinya dia selalu gagal... dan pada akhirnya, akupun terlahir sebagai anak yang tidak dia harapkan... ibuku kemudian meninggalkanku bersama kakekku. Kemudian setelah kakekku itu meninggal aku dititipkan kepada kakekku yang sekarang..."
Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja dia katakan. Ceritanya jauh lebih dramatis dari sinetron manapun yang pernah kutonton. Aku tidak tahu kalau cerita semacam itu benar-benar ada? Jadi orang tua yang tidak mau menerima dan mengurus anaknya itu benar-benar ada? Tiba-tiba aku merasa jauh lebih beruntung jika dibandingkan dengannya.
"Orang tuamu sama sekali tidak pernah bersamamu?" Aku memberanikan diri untuk bertanya lagi.
"Tentu saja sesekali mereka menemuiku. Mereka bahkan mencukupi semua kebutuhanku, secara finansial aku tidak pernah kekurangan... apalagi aku satu-satunya anak yang mereka punya hingga saat ini." Tristan tampak menarik nafas panjang. "Tapi mereka tidak pernah ada saat aku benar-benar membutuhkan mereka. Maka seperti inilah hidupku sampai dengan saat ini."
Aku terdiam mendengarkan semua yang diceritakan Tristan. Seolah aku baru saja mendengarkan sebuah kisah dari negeri dongeng. Sebagian besar terasa tidak bisa aku terima dengan akalku. Kenapa ada orang tua yang menyia-nyiakan anak semanis ini. Maksudku, apa yang kurang dari Tristan... ah, kenapa fokusku lagi-lagi ke wajahnya...
"Tapi, aku bersyukur memiliki kakek..." Tristan tersenyum menatapku. Ah, senyumnya manis sekali, seperti biasanya... aku benar-benar luluh karenanya. "Aku juga bersyukur memiliki teman yang bodoh sepertimu.."
"Hah!" Aku kaget dengan komentarnya. Kulemparkan bantal ke arahnya secara spontan. Dia segera menangkisnya dengan sigap. Dan seperti biasa, dia kemudian siap melemparkannya balik kepadaku.
"Ampun! Aku menyerah!" Aku mengangkat kedua tanganku...
"Tidak ada ampun buatmu!" Tristan tetap menyiapkan tangannya melemparkan bantal itu ke arahku, dan dia tampak sekali akan melemparnya dengan sekuat tenaganya. Aku segera menelungkup untuk melindungi diriku dari serangannya. Beberapa saat berlalu, aku tidak merasakan apapun.
Aku bertanya-tanya, sedang apa anak ini? Akupun mengangkat kepalaku untuk melihat ke arahnya, tepat bersamaan dengan dia memukulkan bantal itu ke wajahku.
Dia pun terkekeh senang karena bisa mengenai wajahku dengan telak, sementara aku memasang muka cemberut karena kesal kepadanya. "Dasar jahat!" Aku menghardiknya.
Dia tetap tertawa senang. "Sudah kubilang kan... itulah mengapa aku menyebutmu bodoh... hahaha..."
Huh! Aku paling sebal kalau dia sudah sekasar ini. Tapi melihatnya bisa tertawa lepas setelah apa yang baru saja dia ceritakan, rasanya membuat hatiku sedikit lega. Setidaknya itu mungkin bisa membantunya sedikit melupakan masalah yang dia alami selama ini.
Beberapa saat kemudian aku kembali teringat dengan tujuanku mengajaknya bicara. Akupun segera meminta kembali kepadanya, "Tan!"
Dia melihat ke arahku, tidak menjawab. Wajahnya masih dihiasi dengan senyumannya yang manis.
"Rekomendasikan aku di tempatmu bekerja." Aku benar-benar gemas dengan anak ini. Untuk satu hal ini saja aku sudah harus berkali-kali meminta kepadanya. "Aku benar-benar membutuhkan pekerjaan, Tan" aku berkata selirih mungkin. Kupasang wajah sedih di depannya. Aku sangat berharap dia tidak akan tega padaku dan akhirnya mau memenuhi keinginanku.
"Baiklah... baiklah..." sesaat kemudian kudengar jawaban yang paling kutunggu-tunggu. "Tapi hentikan menunjukkan wajah jelek seperti itu kepadaku. Ayo tersenyumlah!" Akhirnya aku berhasil juga membuatnya mengikuti kemauanku. Kali ini memang lebih sulit dari biasanya. Tapi setidaknya cara ini masih juga berhasil. Selain itu hari ini aku jadi tahu sedikit tentang cerita keluarganya.
http://lovelygayman.blogspot.co.id/2016/01/roman-dua-sekawan-4.html
Sudah telat tiga puluh menit. Ya, saat ini waktu menunjukkan pukul setengah 5 sore. Artinya Tristan sudah telat sekitar 30 menit. Tanpa kabar... dan aku tidak bisa menghubunginya. Berkali-kali sudah aku mencoba untuk menelponnya, tetapi dia tidak mengangkatnya sama sekali. Whatsapp-ku pun hanya menunjukkan status telah terkirim, tanpa dia baca sampai dengan saat ini.
Aku mulai merasa khawatir kalau dia sampai kenapa-kenapa... karena hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Karena itu aku merasa sangat khawatir terhadapnya, dan aku yakin ada sesuatu yang tidak beres dengannya. Tapi apa?
"Ton?" Suara Mas Arman mengagetkanku. Mas Arman adalah seniorku di cafee tempat kami bekerja.
"Ya, Mas ... aku segera memenuhi panggilannya.
"Kamu kenapa sih dari tadi kok keliatan mondar mandir begitu?" Mas Arman bertanya tanpa memandang wajahku sama sekali. Dia tetap sibuk dengan pekerjaannya.
"Em... anu mas..." Nah, aku bingung sekarang harus menjawab apa? Apa iya aku mesti jujur kepadanya kalau saat ini aku sedang mengkhawatirkan Tristan.
"Anu.. anu..." Mas Arman memandangiku sambil tersenyum. "Anu opo?"
"Hehe.." aku tersenyum malu. "Gapapa sih mas... tadi ada yang lagi kepikiran aja..." aku beralasan.
"Ati-ati lho kamu. Kebanyakan pikiran ntar kayak tetanggaku..." Mas Arman berbicara dengan logat yang agak medok.
"Hm... emang tetangga mas kenapa gitu?" Aku bertanya penasaran.
"Yo mati." Mas Arman menjawab santai.
"Hah! Yang bener aja mas..." aku tidak percaya. "Emang dia meninggal karena kebanyakan mikir gitu?"
"Ya ndak..." Mas Arman tertawa kecil. "Dia mati karena udah tua aja.. udah kebanyakan kali mikirnya..."
"Weh... tak pikir beneran Mas..." aku menarik nafas lega.
"Lha... memangnya kamu mau gitu banyak pikiran terus mati?"
"Eh, ya ndak gitu juga lah mas..." kenapa nih aku kalau ngobrol sama Mas Arman pasti ikut kebawa logatnya deh.
"O iya, ngomong-ngomong kamu tau ndak kemana si Tristan?" Tiba-tiba Mas Arman bertanya tentang Tristan.
Wah, kebetulan nih aku jadi bisa bahas soal Tristan. "Ga tau juga sih Mas. Ga ada kabar..." aku berusaha keras menutupi kekhawatiranku.
"Hm.. bukannya kalian tu tinggalnya deketan ya?" Mas Arman kembali bertanya.
"Iya sih.. tapi kan kita tadi jalan masing-masing..." aku sebenarnya biasanya berangkat bersama Tristan. Tetapi karena takut telat, akhirnya hari ini aku tinggal. Aku tidak tahu kalau ternyata dia sampai sekarang masih belum datang juga.
"Dia masih kerja di sini kan?" Mas Arman kembali bertanya.
"Maksudnya, Mas?" Aku cukup kaget dengan pertanyaan itu. "Harusnya masih lah..."
"Bukannya dia mau berhenti ya?" Mas Arman semakin membuatku kaget.
"Eh.." kali ini aku tidak bisa lagi menyembunyikan rasa ingin tahuku. "Masa sih Mas? Memangnya mas Arman tahu dari mana?"
Wah, kalau sampai benar Tristan tidak bekerja lagi di sini,, artinya dia menyembunyikannya dariku. Tapi untuk apa? Kenapa dia tidak bilang saja terus terang kepadaku. Aku pikir kami ini sudah sangat akrab. Tapi ternyata...
"Bos Mira yang ngomong," Mas Arman menatapku sekilas, kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya. Orang yang dia panggil Bos Mira adalah pemilik dari cafee tempat kami bekerja.
"Oh..." aku mengangguk-angguk meskipun tetap tidak bisa menerima. Kenapa aku harus mengetahui ini dari orang lain. Apa yang sebenarnya Tristan pikirkan. Kenapa dia harus menyembunyikan ini dariku.
"Aku pikir itu kesepakatan kalian berdua..." Mas Arman kembali melontarkan pernyataan yang membuatku bingung.
"Hah? Kesepakatan apa mas?" Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi.
"Yo kamu masuk bekerja di sini untuk gantiin Tristan kan?" Mas Arman balik bertanya.
'Lho! Apalagi ini, Tan?' Aku berpikir keras menebak-nebak semua kemungkinan di balik tidak masuknya Tristan hari ini. Dan semua muncul begitu saja hanya gara-gara beberapa kalimat dari Mas Arman barusan.
"Eh, emang Tristan ada bilang begitu sama Mas Arman?" Aku bertanya dengan nada serius.
Gila! Jika semua ini benar-benar terjadi, dan Tristan tidak memberitahuku sepatah katapun!
"Yo ndak lah. Aku nebak aja..." Mas Arman tampak tersenyum.
Baiklah, aku bisa bernafas sedikit lega. Jadi tadi itu cuma tebakan dia saja. Tapi sampai bagian yang mana ya yang tebakan dia?
Kami terdiam sesaat. Kupandangi pintu masuk cafee, berharap Tristan segera muncul di sana. Aku sangat ingin bertanya banyak hal kepadanya saat ini. Selain itu, entah kenapa aku merasa tidak nyaman dengan ketidakhadirannya.
Apakah ini yang namanya rindu? Entahlah... yang kutahu aku hanya ingin dia ada di sini sekarang. Bisa melihat wajah dan senyumannya mungkin akan membuatku lebih baik. Sayangnya wajah itu tidak juga muncul kali ini.
"Yo wis lah... Ini coba kamu bawakan ke meja nomor 8 ya... kasian udah nunggu lama... terus kamu balik lagi ke sini cepet.. jangan mondar mandir di depan pintu lagi ya?" Mas Arman tiba-tiba mengagetkanku. Dia lalu menyerahkan nampan berisi pesanan pelanggan kepadaku.
Aku pun tersadar dan segera mencoba menutupi kegelisahanku darinya. "Beres, pak Bos!" Aku mengangkat tanganku untuk menerima nampan itu dan melangkah ke arah meja 8.
***
"Kamu balik dulu aja, Ton." Mas Arman tampak memandangiku yang sedang membersihkan meja.
Aku balik memandanginya sejenak, tersenyum lalu menggeleng. Setelah menarik nafas panjang, tanganku kembali bergerak dengan sendirinya. Sementara pikiranku kembali melayang memikirkan Tristan. 'Ah! Kemana anak itu?' Aku terus saja bertanya dalam hatiku.
Hari ini Tristan benar-benar tidak datang bekerja, tanpa kabar... dan lebih parah lagi, dia tidak bisa dihubungi.
"Wis, Ton." Aku merasakan tepukan di pundakku. Aku menoleh, Mas Arman ternyata sudah berdiri di belakangku. Entah sejak kapan.
"Tanggung, Mas. Tinggal meja ini saja kok..." aku berusaha tampak baik-baik saja. Tapi aku rasa aku tidak berhasil. Sepertinya Mas Arman tahu kalau aku sedang sangat gelisah.
"Yo wis... " Mas Arman tersenyum. "Meja ini rampung, kamu langsung balik aja. Yang lain, aku yang urus ya..."
Aku tersenyum dan segera mengangguk. Mas Arman memang baik, sangat baik malah. Dia memperlakukan kami seolah kami adalah adik-adiknya. Tapi satu hal yang aku ragu, apakah dia mengetahui tentang perasaanku kepada Tristan? Apakah dia merasa aneh dengan kedekatanku dengan Tristan? Tapi sedari awal Mas Arman tidak terlihat berubah. Dia tetap Mas Arman yang selalu bersikap manis kepada kami berdua.
Tanpa terasa semua meja telah kubersihkan. Sejujurnya sekarang aku malah merasa bingung. Aku memang bisa pulang sekarang. Tapi apakah itu akan membantu? Aku malah merasa membutuhkan sesuatu untuk bisa mengalihkan perhatianku. Tapi Mas Arman pasti akan terus menyuruhku untuk segera pulang.
"Mas," aku menghampirinya. "Masih ada yang bisa kubantu?" Aku bertanya.
"Wis kok, ayo kamu balik sana. Mas juga mau balik kok ini..." dia tampak mengenakan jaketnya.
"Sudah selesai semua memangnya mas?" Aku masih juga bertanya.
"Lho... kamu ini kok nanyanya gitu. Wis semua kok. Yuk, balik!" Mas Arman segera melangkah menghampiriku.
"Eh, iya Mas. Saya ambil jaket saya dulu..." aku melangkah menuju gantungan tempat kutaruh jaketku. Segera setelah mengenakan jaketku, aku melangkah keluar menghampiri Mas Arman yang sudah menunggu di sana untuk menutup cafee.
Setelah selesai menutup dan mengunci rolling door, mas Arman kembali bertanya kepadaku. "Apa perlu tak antar kamu?"
"Ah, tidak mas..." aku buru-buru menolak. "Aku bisa jalan sendiri kok Mas..."
"Yo wis..." Mas Arman tampak mengangguk-angguk. "Kalau gitu aku balik ya? Sampai ketemu besok." Mas Arman tampak mengangkat tangannya mengisyaratkan pamitnya kepadaku.
"Hati-hati, Mas..." aku meneriakkan itu setelah melihatnya berjalan beberapa langkah.
Mas Arman berhenti dan menoleh. "Iyo, kamu juga!" Dia kemudian berpaling dan melangkah meninggalkanku sendirian.
Aku tetap berdiri di depan cafee, sampai sosok Mas Arman hilang ketika dia berbelok jalan. Kutarik nafas dalam. Sepi.
Kini aku merasa kesepian. Padahal ini bukan kali pertama aku pulang sendirian. Tapi ini kali pertama aku tidak tahu kabar Tristan. Dan itu cukup membuat perbedaan yang besar.
Aku kemudian melangkah gontai. Pikiranku kembali melayang, menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi pada anak itu. Kenapa dia bisa hilang begitu saja tanpa kabar. Tanganku bergerak mengambil handphone dari saku celanaku. Aku mengecek apakah ada balasan whatsapp dari Tristan. Ternyata tidak ada.. bahkan dia belum membaca pesanku.
Aku tidak bisa menahan diri, kucoba menelponnya lagi kali ini. Tetapi kali ini telponku malah masuk ke mailbox. Padahal tadi sore masih bisa masuk, tapi memang tidak dia angkat. Sekarang, aku benar-benar penasaran! 'Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Tan?'
http://lovelygayman.blogspot.co.id/2016/01/roman-dua-sekawan-5.html
Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku terus disibukkan dengan segala hal tentang Tristan. Sepertinya, itu membuat perjalananku menjadi tidak begitu terasa, dan aku cukup terkejut saat menyadari bahwa aku sudah sampai di ujung jalan. Artinya, rumahku sudah terlewati, sekarang aku berdiri di depan rumah kakeknya Tristan.
Aku memandangi ke arah rumah tua yang tampak gelap gulita itu. Biasanya, aku akan merasa ketakutan dengan rumah yang tampak gelap seperti itu. Tapi kali ini, rasa penasaranku telah mengalahkan rasa takutku. Lagipula, malam ini bulan cukup terang sehingga aku masih dapat melihat dengan cukup jelas.
'Kenapa tidak ada satupun lampu yang dinyalakan ya?' Itu adalah hal pertama yang kutanyakan. 'Apakah seisi rumah sudah tidur? Kalaupun benar begitu, seharusnya kan tetap ada lampu yang dinyalakan di luar rumah...'
Perlahan dan ragu, aku melangkah mendekati pagar rumah. Aku lagi-lagi merasa heran, saat melihat pagar tersebut tampak sedikit terbuka. 'Mereka juga tidak mengunci pagar?'
Aku menggerakkan tanganku untuk mendorong pagar itu. Kulakukan itu dengan sangat pelan, dengan harapan tidak akan ada suara yang muncul. Tapi rupanya pagar itu sudah cukup tua, sehingga sepelan apapun aku mendorongnya.. suara derit yang muncul cukup keras terdengar di telingaku. Bisa jadi karena suara itu muncul di tengah suasana yang memang sangat sepi. Aku berhenti sejenak, menunggu apakah ada respon yang muncul dari dalam rumah akibat mendengar suara yang baru saja kubuat. Tapi, suasana rumah tetap tampak hening!
'Oke, sekarang aku sudah masuk ke halaman rumah. Lalu apa?' Aku membatin dalam gelap bayang-bayang rumah itu. Sesaat aku menjadi bimbang. Apakah aku akan terus maju atau lebih baik jika aku pulang saja. Kali inipun, lagi-lagi rasa penasaranku yang menjadi pemenang, karena sesaat kemudian aku melangkah pelan tetapi pasti untuk menuju pintu rumah.
Aku menarik nafas sejenakn sebelum kemudian dengan keberanian yang susah payah kukumpulkan, aku mengetuk pintu itu.
'Tristan?' Aku memanggil namanya saat mengetuk pintu. Nama seseorang yang aku rindukan seharian ini. Sejujurnya aku tidak tahu apa yang akan aku katakan, jika tiba-tiba yang muncul dari balik pintu adalah kakeknya Tristan. Tapi sudahlah, aku tidak peduli. Bagaimanapun, aku harus bertemu dengan Tristan, harus malam ini.
Suasanapun kembali hening. Masih juga tidak ada sahutan, bahkan tidak ada suara apapun dari balik pintu. Ini malah membuatku semakin penasaran. Akupun kembali mengetuk pintu rumah itu. Kali ini lebih kencang.
'Tristan!' Suaraku terdengar lebih lantang. Beberapa menit kemudian, aku terus saja mengulang-ulang mengetuk pintu dan memanggil nama Tristan dalam kesunyian. Tanpa ada respon sama sekali.
Aku hampir saja putus asa, ketika tiba-tiba kudengar sebuah suara, tapi justru berasal dari belakangku. "Siapa di situ?"
Aku menoleh kaget ke arah datangnya suara. Samar-samar tampak sosok seorang wanita paruh baya berdiri menyelidik ke arahku di sana.
Dengan mencoba menguasai rasa takut yang muncul tiba-tiba, aku melangkah perlahan mendekati sosok itu. Semakin dekat, sepertinya aku mulai bisa mengenali sosok itu. Dan akhirnya aku menghembuskan nafas lega, saat mengetahui bahwa sosok wanita itu adalah Bu Dian, tetangga sebelah rumah kakeknya Tristan.
"Eh, Bu Dian. Ini Anton, Bu..." aku kemudian lebih mendekat kepadanya, agar dia juga bisa mengenaliku.
"Lho, kamu tuh lagi ngapain malam-malam begini?" Bu Dian juga tampak lega ketika akhirnya bisa mengenaliku.
'Wah, aku harus kembali mengarang cerita nih...' aku membatin. "Anu, Bu... Tristan..."
"Tristan ga ada di rumah. Tadi sore pergi bawa kakeknya ke rumah sakit," Bu Dian memotong.
Deg! Aku benar-benar terkejut dengan penjelasan Bu Dian. Seketika, rasa penasaranku seperti hilang begitu saja. 'Jadi alasan ini yang membuat Tristan tidak masuk kerja?'
"Memang kakeknya Tristan kenapa, Bu?" Suaraku terdengar sedikit bergetar, mungkin karena aku masih mencoba menenangkan perasaanku untuk apa yang baru saja aku dengar.
"Sepertinya serangan jantung..." Bu Dian menjawab singkat. "Sudah kamu pulang sana! Besok lagi saja kamu ke sini lagi." Dia kemudian tampak berpaling dariku dan melangkah pergi.
Aku buru-buru mengikuti langkahnya. "Bu, ..." aku berlari kecil untuk bisa menyusulnya. "Bu Dian, tahu gak rumah sakit mana?"
"Tristan tidak bilang apa-apa. Tadi itu ibu juga tahunya pas ada ambulan datang." Bu Dian menjawab ringan sambil terus saja berjalan.
"Oh..." aku sebenarnya sedikit kecewa dengan jawabannya.
Saat sampai di depan rumahnya, Bu Dian tampak membuka pagar lalu langsung masuk tanpa menoleh lagi ke arahku yang masih dalam kebingungan. Aku terdiam di tempat itu beberapa saat, berusaha mencerna apa yang sedang terjadi.
'Jadi Tristan sekarang sedang di rumah sakit... pantas saja dia tidak bilang apa-apa padaku. Mungkin dia tidak kepikiran, karena saking buru-burunya. Jangan-jangan dia juga tidak membawa handphone-nya...' aku membatin.
Setelah tahu tidak ada yang bisa kulakukan lagi malam ini, aku memutuskan untuk pulang. Tetapi sebelumnya, aku masih sempat kembali ke depan rumah kakeknya Tristan untuk menutup pagar agar tampak seperti terkunci.
***
Akhirnya hari menjadi pagi juga. Semalaman, aku tidak bisa tidur karena tidak bisa berhenti memikirkan Tristan dan apa yang terjadi dengan kakeknya. Aku merasa kasihan, karena setahuku dia hanya hidup berdua saja dengan kakeknya itu. Jadi, kemungkinan saat ini dia juga sendirian di rumah sakit menjaga kakeknya. Selain itu, bagaimana kondisi kakeknya itu sekarang? Aku memang tidak terlalu dekat dengan kakeknya, tetapi kalau sampai terjadi apa-apa padanya, bagaimana Tristan akan menjalani hidupnya?
'Pasti kamu sangat sedih saat ini, Tan.' Aku membatin sedih karena memikirkannya. 'Kalau sampai harus hidup sebatang kara... ah, kasihan sekali kamu, Tan!'
Akupun segera bangkit dari tempat tidurku, kemudian melangkah menuju cermin untuk memastikan penampilanku cukup baik jika aku langsung pergi begitu saja. Setelah cukup puas dengan apa yang tampak di cermin, buru-buru aku keluar kamar.
'Ton?" Suara Ibu menghentikan langkah buru-buruku. "Tumben sepagi ini kamu sudah bangun?" Aku menoleh, Ibu tampaknya memandangiku sambil memegang sapu di tangannya. Ibu sepertinya sedang membersihkan ruang keluarga.
"Iya, Bu. Aku ada keperluan..." aku menjawab singkat, lalu buru-buru aku kembali melangkah menuju pintu, berharap bisa menghindari semua pertanyaan Ibu sepagi ini.
"Mau kemana si kamu, Ton?" Ibu kembali bertanya. Kali ini agak menaikkan suaranya.
Aku berhenti di depan pintu, menarik nafas dalam. 'Ibu pasti tidak senang, kalau aku memberitahunya bahwa ini tentang Tristan..' aku membatin.
"Oh, ada urusan pekerjaan sebentar, Bu..." aku berbohong sambil cepat-cepat membuka pintu dan segera melangkah pergi tanpa menoleh lagi ke arah Ibu. Aku takut kalau Ibu akan bertanya lebih banyak, dan aku takut aku tidak bisa berbohong.
Sayup-sayup aku masih bisa mendengar suara Ibu memanggil-manggil namaku. Tapi aku menguatkan hatiku untuk tetap melangkah pergi. Bagaimanapun aku harus pergi mencari Tristan hari ini. Harus!
Sambil terus berjalan, aku mulai berpikir harus ke mana sekarang? Rumah sakit pastinya. Tapi rumah sakit yang mana? Ada setidaknya tiga rumah sakit yang paling dekat. Apakah aku harus mengecek satu demi satu ke sana? Meskipun bakal menyusahkan, tapi kemungkinannya memang seperti itu.
***
Hari sudah menjelang siang ketika aku melangkah memasuki gerbang rumah sakit Medika Utomo. Ini sudah merupakan rumah sakit ketiga. Sebelum ini, aku sudah mendatangi dua rumah sakit. Tidak ada nama pasien yang kucari di sana. Tentu saja, aku berharap bisa menemukannya di rumah sakit ini. Karena jika tidak, aku tidak tahu lagi harus mencari kemana.
Menurutku, rumah sakit ini cukup kecil dan terlihat tidak begitu ramai. Dan meskipun letaknya paling dekat dari tempat tinggalku, dari awal aku sedikit ragu jika Tristan akan membawa kakeknya ke sini. Aku rasa aku cukup tahu kebiasaannya. Dia biasa memilih yang terbaik.
"Selamat siang, apa ada pasien atas nama Tuan Wardoyo? Umurnya lebih dari 60 tahun..." aku bertanya ke petugas di bagian informasi. Tanpa menjawab, dia tampak langsung melakukan pencarian data di komputernya. Aku menarik nafas panjang. Saat ini, aku cukup lelah dan tidak punya energi untuk melakukan komplain atas sikap dingin dari petugas ini.
Beberapa saat berlalu, petugas itu sepertinya menemukan sesuatu yang kucari. "Atas nama Bapak William Wardoyo, 72 tahun, di ruang ICU..." petugas itu mengatakannya tanpa menatapku sama sekali.
'Oke, aku mengerti.' Informasi itu sudah cukup untukku. Setidaknya pencarianku sudah berakhir di sini. Aku tinggal mencari lokasi ruangannya saja. Akupun segera melangkah pergi, tanpa mengucapkan apa-apa lagi kepadanya, dan tampaknya dia juga tidak peduli.
Ku arahkan pandanganku ke sekeliling, mencari petunjuk atau barangkali aku bisa langsung menemukan Tristan di sini. Aku bisa sedikit lega ketika menemukan petunjuk lokasi ruang ICCU berada, buru-buru aku segera mengikuti tanda itu.
Sesampainya di pintu bangsal ICU, aku mengarahkan pandanganku ke dalam bangsal dari balik pintu kaca. Tampak banyak orang di sana. Sepertinya mereka adalah keluarga dari pasien yang menginap di situ. Sayangnya, sosok Tristan tidak bisa kutemukan di sana. Setidaknya, itu berdasarkan apa yang bisa kulihat dari luar.
Sebenarnya aku ingin masuk saja ke bangsal itu. Tapi aturannya jelas terpampang di depan pintu. Jam besuk pasien adalah jam 16.00 sampai jam 17.00. Artinya, masih sekitar 4 jam lebih lagi aku harus menunggu. Lagi pula jam 16.00 sore ini aku juga harus masuk kerja. Aku berpikir, 'apa aku bolos kerja saja? Tapi mana bisa? Kasihan juga Mas Arman kalau harus bekerja sendirian.'
Aku kemudian melangkah ke arah balkon di ujung lorong. Pandanganku menatap kosong ke depan sementara pikiranku terus bekerja merancang rencana yang mesti aku lakukan. Entah berapa lama sudah aku berdiri mematung, berpikir dan terus berpikir. Tapi aku nyatanya tidak bisa memutuskan apapun.
Saat itulah aku melihat sosok yang kukenal sangat baik berjalan di seberang lorong sana. Itu Tristan! Dia tampak berjalan dengan cepat sambil membawa secarik kertas atau semacamnya di tangannya.
"Tristan!" Secara refleks aku berteriak memanggil namanya. Tentu saja dia tidak mendengarnya. Sosoknya segera lenyap di balik tembok. Tanpa pikir panjang, aku buru-buru berlari ke arah dia menghilang. Tetapi itu bukan hal yang mudah, karena aku harus berlari memutar untuk mencapai lorong itu. Beberapa orang tampak melihatku dengan pandangan penuh tanya, atau mungkin mereka merasa terganggu karena melihatku berlarian di lorong rumah sakit. Tetapi aku tidak peduli. Aku harus bisa mengejar Tristan kali ini.
Aku berhenti, terengah-engah ku pandangi arah sekeliling. Rasanya benar-benar menyesal, karena aku ternyata tidak dapat mengejarnya. Sekarang aku tidak tahu dia ke arah yang mana?
Tapi sesaat kemudian, aku sadar bahwa setidaknya aku sudah berada di rumah sakit yang benar. Aku juga sudah tahu ruangan tempat kakeknya dirawat. Aku hanya perlu menunggu.
Berpikir tentang hal itu, aku segera saja kembali ke bangsal ICU. Di dekat pintu, aku memilih tempat yang cukup nyaman untuk bisa berdiri sambil bersandar. Kupastikan posisiku, sehingga memungkinkanku untuk mengetahui siapa saja yang keluar masuk pintu bangsal itu.
'Oke, Tan. Aku akan menunggumu di sini.' Aku berbisik seolah aku berkata padanya secara langsung.
***
"Tristan!" Aku setengah berteriak dan segera berlari ke arahnya.
Tristan tampak sedikit kaget dengan kehadiranku. Wajahnya tampak sangat letih, dengan mengenakan kaos seadanya dia terlihat begitu lusuh... tetapi tetap seksi dan menarik di mataku.
"Kamu... Ton?" Tristan sempat mengucapkan itu, sebelum dia terdiam saat aku menarik tubuhnya dan memeluknya erat. Aku tidak sempat lagi untuk berpikir apa yang akan dia pikirkan dengan apa yang kulakukan ini. Yang kutahu, aku sangat ingin memeluknya.
Tetapi syukurlah, Tristan tidak melakukan penolakan. Dia bahkan seolah membiarkan aku melepaskan semua perasaaan kuatir dan rinduku padanya. Dia memberiku cukup waktu. Kaos yang dikenakannya terlalu tipis kurasa, sehingga aku masih bisa merasakan hangat dari tubuhnya. Bahkan tubuhnya terasa panas, sepertinya dia sedang demam.
Meski hanya sekilas, aku juga masih bisa mencium aroma harum dari parfum yang biasa dia gunakan. Aroma itu kali ini sudah bercampur dengan aroma keringatnya. Sangat maskulin. Dan entah kenapa, itu membuatku merasa kian tertarik kepadanya.
Setelah beberapa saat, Tristan mulai bergerak melepaskan dirinya dari pelukanku. Aku tidak mencegahnya, kubiarkan dia melepaskan diri pelukanku.
"Bagaimana kamu bisa di sini, Ton?" Tristan kembali menanyakan hal yang sama.
"Ah," aku senang Tristan tidak membicarakan acara pelukan tadi, "ceritanya panjang, Tan. Tapi bagaimana kondisi kakekmu?" Aku langsung bertanya yang lain, mengalihkan fokus pembicaraan kami kepada kondisi kakeknya.
Raut wajah Tristan tampak menjadi sedih mendengar pertanyaanku. Dia tampak menarik nafas letih. 'Tuhan, apa yang terjadi padaku? Mengapa dia tetap terlihat menarik pada kondisi seperti ini. Kenapa sulit sekali bagiku untuk tidak berfikir macam-macam tentang dirinya.'
"Aku belum tahu pasti..." Tristan menjawab lemah, tidak seperti biasanya.
"Oh, kamu habis menebus obat, ya?" Aku buru-buru menanyakan hal lain saat melihat sebungkus obat di tangannya.
"Iya.. aku mesti buru-buru memberikan ini kepada perawat..." Tristan melangkah meninggalkanku, yang hanya bisa menatapnya. Bagaimana caraku menahannya. Apa yang harus kulakukan ahar bisa menemaninya di sini. 'Tan! Aku benar-benar ingin bersamamu saat ini...' aku menggerakkan tanganku untuk mencegah langkahnya, tetapi suara keinginanku tidak juga keluar dari mulutku.
Saat membuka pintu bangsal, Tristan menoleh ke arahku. "Ton!" Dia mengisyaratkan agar aku mengikutinya.
Tristan tampak memaksakan diri untuk tersenyum padaku. Senyum indah di atas wajah yang terlihat letih. Senyum yang menyihirku untuk segera berlari kecil mengikutinya ke dalam bangsal.
http://lovelygayman.blogspot.co.id/2016/01/roman-dua-sekawan-6.html
Aku memandangi Tristan yang sedang berbicara dengan perawat di depan pintu ruang ICCU. Bukan pembicaraan yang berlangsung lama, tapi saat kembali kepadaku, dapat kulihat ada risau di wajahnya.
"Bagaimana?" Aku menggeser posisi dudukku dan memberinya tempat yang cukup untuk duduk di sebelahku.
"Mereka masih berusaha..." Tristan menyandarkan kepalanya ke tembok. Dari yang bisa kulihat, dia pasti sangat kelelahan. Jangan-jangan dia juga tidak bisa tidur semalam.
"Bersabarlah, Tan... Aku yakin kakekmu akan segera pulih." Aku mencoba menguatkannya.
Dia menatapku, mencoba tersenyum. Meski hanya sekilas, aku merasa senang dia masih bisa tersenyum.
"Ngomong-ngomong, kamu sudah makan belum?" Aku kembali bertanya kepadanya.
Dia menggeleng lemah. "Aku tidak lapar..." dia menjawab tanpa menoleh.
Aku menarik nafas panjang, 'ah, kasihan sekali kamu, Tan...' Aku tidak berpikir panjang, segera bangkit dan melangkah meninggalkannya.
"Ton?" Dia memanggilku pelan. Aku berhenti dan tersenyum kearahnya. "Mau kemana?"
"Jangan khawatir. Aku akan bawakan makanan. Nanti kita makan bareng ya..."
"Baiklah... bawalah ini.." Tristan menyodorkan tangannya. Aku kembali melangkah ke arahnya. Di tangannya itu adalah sebuah kartu, kartu tanda keluarga pasien. "Nanti kamu bisa langsung masuk, menggunakan ini..."
Aku menerimanya. Lalu segera melangkah pergi meninggalkannya.
***
Tristan tampak sedang memejamkan mata sambil menyandarkan kepalanya ke tembok saat aku kembali. 'Apakah dia tertidur?' Aku melangkah perlahan agar tidak bersuara. Jika dia memang ingin tidur aku rasa biarlah dia tidur.
Tetapi saat aku sampai dan memandanginya sambil berdiri, dia tampak membuka matanya. "Eh, Ton... Maaf aku ketiduran.." dia segera memperbaiki posisi duduknya.
"Kamu memang harus tidur, Tan. Kalau tidak nanti kamu bisa sakit juga..." aku segera duduk di sampingnya. "Tapi sebelum itu, kamu makanlah dulu ini." Aku mengeluarkan roti dan susu yang baru saja kubeli.
"Kamu beli apa?" Tristan memandangi apa saja yang kukeluarkan dari kantong plastik.
"Aku hanya bisa mendapatkan ini.. roti.. susu... Oh iya aku membeli madu juga. Ini kesukaanmu kan? Dan ini ada buah pisang juga..."
Tristan tampak tersenyum dengan apa yang kubawa. "Terimakasih, Ton..." aku mendengar ketulusan di balik ucapan singkatnya itu. Ada air yang tampak menggenang di sudut-sudut matanya.
'Ah, kenapa anak ini seperti sedang berkaca-kaca..' aku memandangi wajahnya. Tidak sering aku melihatnya pada kondisi seperti ini.
"Sudah jangan dilihatin terus... ayo makan. Tidak perlu aku suapin kan?" Aku berusaha mencairkan suasana. Kami berdua tersenyum, sementara aku terus memandanginya tanpa henti. Ada hangat kasih sayang mengalir di dalam hatiku. 'Aku menyayangimu, Tan.. jangan pernah merasa sendiri ya..'
Tristan mulai membuka plastik pembungkus roti itu, mengeluarkannya lalu menyodorkan sebagian kepadaku.
"Makanlah saja dulu..." aku menolak.
"Bukankah kamu bilang kita akan makan bersama?" Tristan bertanya sambil tetap menyodorkan setengah roti itu padaku.
'Ah, mulai nih keras kepalanya...' aku membatin. 'Tapi kalau tidak aku turuti nanti dia malah ga makan..' Aku terpaksa menerima dan memakan bagian yang diberikannya. Kali ini, aku dapat melihat Tristan makan tidak seperti biasanya, biasanya dia akan makan dengan sangat lahap.. sangat cepat. Tapi kali ini dia terlihat begitu lambat. Aku tahu dia pasti tidak selera. Tapi tak apalah, karena setidaknya dia sudah memasukkan sesuatu ke perutnya.
"Sudah ya, Ton.. aku sudah kenyang..." Tristan menaruh roti yang dia baru makan beberapa suap saja.
Aku menarik nafas panjang. "Baiklah. Tapi nanti kamu makanlah lagi. Oh iya, minum juga susu dan madu itu untuk menjaga kesehatanmu. Kakekmu akan sangat membutuhkanmu... " Nasehat itu mengalir begitu saja dari mulutku.
Tristan memandangiku sekilas lalu tersenyum. Dan lagi-lagi aku merasa luluh melihat senyumnya.
Beberapa saat kemudian kami terdiam. Memandangi wajah-wajah lusuh dan sedih di sekitar kami.
"Kamu lihat sudut itu, Ton?" Aku mengarahkan pandanganku ke arah yang ditunjukkan olehnya. Hanya sederet bangku kosong.
"Kemarin malam masih ramai orang di situ. Tetapi sekarang mereka sudah pergi... tadi pagi pasien yang mereka tunggui sudah meninggal..." Suara Tristan seperti tercekat pada bagian akhir kalimatnya.
Aku hanya bisa terdiam mendengar ceritanya. Lagi pula apa yang harus aku katakan?
"Lelaki itu masih cukup muda, menurut yang aku dengar. Tetapi dia tidak bisa selamat dari serangan jantung itu..." Tristan kembali bercerita.
"Kakekmu pasti akan bertahan, Tan. Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja..." aku meletakkan tanganku di bahu kirinya.
Tristan menoleh ke arahku, memandang sejenak tanganku yang kemudian buru-buru aku turunkan dari bahunya.
"Oh, iya... semalam aku ke rumahmu.." aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
"Semalam?" Tristan bertanya singkat.
"Iya... Rumahmu benar-benar gelap.." aku menghadapkan posisi tubuhku ke arahnya. "Dan lagi kamu pasti lupa mengunci pagar. Aku bisa masuk dan mengetuk pintu. Tapi malah Bu Dian yang muncul dari belakangku. Awalnya aku pikir dia itu hantu atau semacamnya... " aku berkelakar.
"Jadi kamu pikir rumahku berhantu?" Tristan tersenyum. "Tapi tumben kamu berani gelap-gelapan. Biasanya kan kamu udah lari tuh..."
"Ya aku penasaran aja... habis kamu ga bisa dihubungi sih.." aku berpaling darinya. Rasanya sedikit canggung untuk bisa mengakui bahwa aku sebenarnya sangat mengkhawatirkannya.
"Penasaran?" Tristan mendekatkan wajahnya melihat ke wajahku. "Atau jangan-jangan kamu kangen ya sama aku..."
'Astaga! Dia masih bisa menggodaku seperti ini?' Pipiku sepertinya memerah. Entah karena malu atau karena kesal.
"Kangen apanya?" Aku segera membantahnya. Dia tampak tersenyum, sangat manis. "Aku tuh cuma khawatir aja..."
Tristan kembali memandangiku sambil tersenyum. 'Lama-lama bisa meleleh beneran nih aku kalau sering-sering dipandangi seperti ini..' aku membatin dan segera mengalihkan pandanganku.
"Jangan khawatirkan aku. Aku baik-baik saja kan?" Tristan memegangi lutut kiriku.
"Tapi bagaimana aku bisa tahu... kalau aku tidak bisa menghubungimu? Kamu lupa bawa handphonemu?" Aku bertanya kepadanya, sesaat setelah aku ingat kemungkinan itu.
Tristan tampak membuka kedua tangannya, mengisyaratkan bahwa dia memang tidak membawa handphone. "Jangankan handphone, pakaian saja aku hanya bawa ini..."
"Dih.. pantesan kamu bau..." aku menyeletuk menggodanya.
"Bau ya? Tapi kenapa tadi kamu memelukku lama sekali?" Tristan melingkarkan tangannya di leherku, menarikku ke arah badannya.
'Wah, jangan sampai ketahuan kalau aku memang menikmati ini..' aku segera menjauhkan tubuhku darinya. "Tuh, bau..."
Tristan tertawa kecil melihat responku. Tawa pertama yang kulihat darinya sepanjang hari ini. Aku secara spontan ikut tertawa bersamanya.
"Kalau begitu, aku akan bawakan baju untukmu ya?" Aku menawarkan bantuan padanya.
Sejenak dia menatapku. "Baiklah. Tapi lebih baik kamu cepat-cepat... Hari ini kamu masuk kerja kan?"
"Oh, iya... ngomong-ngomong soal kerjaan..." aku segera teringat dengan semua obrolanku dengan Mas Arman kemarin malam. Rasanya aku ingin menanyakan semuanya pada Tristan sekarang. Tapi melihat kondisinya saat ini, aku berusaha mengurungkan niatku.
Tristan tampak menatapku, menunggu kalimatku terselesaikan.
"Kamu juga harus ngomong kan sama Bu Mira?" Aku mengubah lanjutan kalimatku setelah berpikir sebentar.
Tristan mengangguk-anggukkan kepalanya, tapi tidak menjawabku.
"Ya sudah, bagaimana kalau aku ke rumahmu. Kuambilkan pakaian dan handphonemu. Jadi kamu bisa menghubungi Bu Mira juga nanti..." aku kembali menawarkan.
"Terimakasih ya, Ton..." Tristan tampak tersenyum manis sambil merogoh saku celananya. Tangannya kemudian menyodorkan serangkai kunci-kunci. "Ini kunci rumah dan kamarku. Kunci gerbang aku lupa bawa..."
Aku menerima kunci-kunci itu dan membalas senyumannya sambil segera berdiri.
"Oke... aku pergi dulu ya. Kamu cobalah tidur meskipun sebentar... jangan khawatir, nanti aku pasti akan bangunkan kamu sesampainya aku di sini.."
Dia hanya tersenyum. Aku segera berpaling darinya dan melangkah menuju pintu.
"Ton..." suara panggilannya tidak terlalu keras. Tetapi aku masih cukup jelas mendengarnya dan itu membuatku segera menoleh ke arahnya, untuk melihatnya tersenyum sangat manis. 'Ah, anak ini kalau tersenyum benar-benar membuatku tidak ingin meninggalkannya.'
"Hati-hati di jalan ya?"
Aku tersenyum dan mengangguk. Rasanya begitu hangat di hatiku mendengar kalimatnya yang terakhir. Bagaimanapun dia tetap seperti ingin menjagaku, bahkan dalam kondisinya yang sekarang ini... dia tetap tidak melupakan hal itu.
http://lovelygayman.blogspot.co.id/2016/04/roman-dua-sekawan-7_9.html