Purnama di atas pangandaran tak lagi indah,
Tiada makna,
Semilir angin yang lembut membelai raga,
Masih bagai hembusan bara menyala,
Deburan gelombang menyiksaku,
Masih bergejolak disini,
Masih terkoyak di sini,
Oh cinta.. Kias artimu menjadi tangis di jiwaku..
**
Semilir angin menusuk kulit mengiringi langkah-langkah lemahku di lembutnya pasir, deburan gelombang pasang bersahutan dari arah lautan luas mengiringi gejolak dahsyat di hatiku, sesekali air laut menghempas kedua kakiku yang telanjang.
Jika manusia telah di kungkung oleh hawa nafsu maka sejatinya dirinya kehilangan kontrol dirinya dan itu terjadi kepadaku, aku tak mampu mengendalikan jiwaku yang kini penuh kebencian.
Rasa marah yang bergejolak, kekecewaan yang berkarat dan perih yang menyayat terus membelenggu kalbu. Demi menaiki BMW terbaru kekasihku dengan mudahnya berpaling hati, tak di pedulikannya cinta dan setia yang tulus ku berikan, semua gay di Jakarta juga tahu Tio Prasetyo itu hanya seorang petualang yang senang berganti-ganti pasangan dengan modal wajah tampan dan uangnya, namun Dennis Arindra kekasihku itu sudah di butakan tampang dan harta yang di tawarkan Tio.
Jaman sekarang cinta dan setia itu tak berarti lagi, apalagi jika mengingat ini di dunia homo, uang dan sex bebas seakan menjadi menu utama mengejar kepuasan.
Aku benar-benar sakit hati, demi cinta aku bahkan mengharamkan harga diri dengan memohon-mohon padanya, memintanya tetap bersamaku, aku rela jikapun harus di duakan hati olehnya, namun rupanya dia lebih memilih mencampakanku dan pergi bersama bajingan berharta itu. Mereka berdua memang manusia-manusia bajingan laknat yang mesti di musnahkan dari muka bumi ini. Biar saja mereka bercinta di neraka.
Kepala ini rasanya mau meledak saat ini juga jika sudah mengingat dua bajingan itu, air mata pun kini kering sudah karena aku terlalu banyak menangis seminggu ini.
Seminggu sudah aku di campakan Dennis dan aku masih tak mampu melupakan bajingan itu, aku sudah terperangkap oleh cinta gila. Tergila-gila kepadanya.
Berusaha melupakan sakit hati yang ku dera, aku memilih cuti panjang dari pekerjaan dan berlibur di pantai Pangandaran dengan menyewa sebuah Villa untuk tempatku menenangkan diri. Walau sepertinya itu belum berhasil.
Aku masih saja tak mampu melepas bayangan Dennis dari otakku.
PLENTANG..
Sebuah kaleng kosong bekas minuman yang tergeletak di pasir ku tendang dengan kerasnya sehingga dengan kencangnya kaleng itu meluncur di keremangan jauh ke depan sana.
PRAKK..
Terdengar kaleng itu menimpa sesuatu dan di susul suara mengaduh
"ADAAOOW.."
Kencang sekali, dan suara seorang laki-laki.
Sepertinya kaleng yang aku tendang mengenai manusia lain di depan sana, tentu saja itu membuatku terkejut, ku pikir tak ada manusia lain disini, bukankah malam sudah sangat larut. Oh aku jadi merasa bersalah, karena tak mampu mengontrol kemarahanku kini aku telah mencelakakan orang lain, suasana pantai sedikit gelap karena purnama tiba-tiba saja tersaput awan tebal yang mengarak di langit hitam, aku jadi tak bisa melihat apapun.
Khawatir orang itu terluka parah aku segera berlari kearah suara mengaduh tadi dan tentunya aku harus segera meminta maaf pada orang itu sebelum orang itu marah padaku dan lebih parah lagi melaporkan dan menuntut aku karena telah mencelakainya.
Tiba di asal suara mataku menemukan sesosok orang yang sedang terduduk di pasir dan terlihat orang itu memegangi dahinya, namun karena gelap aku tak bisa melihat jelas orang itu.
Tiba-tiba ada desir aneh ku rasakan saat ku memandangi orang itu, ada aura asing menyusup kedalam hatiku, terasa menghangatkan, aku tak tahu itu apa namun seketika sirna gejolak emosi yang tadi sempat tak terkendali. Aku merasa damai.
"Maafkan saya, anda tidak apa-apa kan? Saya benar-benar tidak sengaja melakukannya.." Ucapku padanya, ku dekati untuk memeriksa keadaannya, namun selangkah dia menjauh seakan enggan ku dekati.
"Aku tidak apa-apa, hanya lain kali jangan lakukan itu lagi karena itu berbahaya, akan lebih baik jika kamu buang sampah pada tempatnya daripada di lempar sembarangan begitu, laut menjadi rusak karena ulahmu itu.." Balasnya cepat, suara bas nya terdengar datar dan dingin, aku menjadi sungkan dan tak enak hati.
Namun kehangatan itu muncul kembali di hatiku, seakan aku mendengar suara indah sang penyanyi tak tertandingi mengalun lembut di telingaku, menembus relung hatiku, dan kedamaian semakin nyata ku dapatkan.
"Kaleng minuman itu bukan milikku, aku melihatnya tergeletak di pasir dan iseng ku tendang tadi, aku pikir tidak ada orang lain disini selain aku.." Ucapku sedikit menata pembelaanku, orang itu kini bangkit berdiri sedikit menoleh padaku, namun aku belum berhasil melihat jelas wajahnya karena masih gelap, sosoknya hanya ku lihat seakan bayangan siluet saja.
"Kadang hal iseng itu lebih banyak menghasilkan hal negatif daripada sesuatu yang positif?" Sindirnya tajam,
"Aku tahu, untuk itu aku meminta maaf.." Lirihku putus asa.
"Baiklah aku memamaafkanmu, jadi kau kini bebas untuk pergi, saya ingin kembali sendiri disini.." Jawabnya lalu diam tak bergeming, aku pun hendak berniat pergi meninggalkannya, semuanya sudah selesai aku sudah meminta maaf dan orang ini memaafkanku, jadi tak ada masalah lagi. Sebaiknya aku kembali ke Villa saja.
Namun tiba-tiba arakan awan yang menutupi purnama di atas Pangandaran menyingkir sehingga suasana di tempat ini sedikit lebih terang, aku mencoba untuk melihatnya, penasaran aku ingin melihat wajah lelaki itu, dan aku terperangah oleh kharisma di wajah sang pemuda nan rupawan, aku terpana dan kehangatan dalam hati semakin menjadi-jadi.
Namun aku segera tersadar tanpa sengaja aku melihat tetesan darah di dahi sang pemuda, sepertinya lukanya cukup parah karena meneteskan darah yang panjang mengalur hingga pipinya, aku seketika jadi panik dan kaget tak kepalang.
"Oh Tuhan.." Seruku dengan wajah pias menatapnya, melihat reaksiku pemuda itupun ikut terkejut.
"Kenapa kamu begitu kaget melihatku, apa ada yang aneh di wajahku?" Tanyanya sambil meraba-raba wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
"Bukan, bukan karena itu, aku melihat ada darah di dahi mu, sepertinya luka mu cukup dalam dan itu karena ulahku, aku harus segera mengobati luka di dahimu itu.." Ucapku menjelaskan asal kepanikanku, mendengar penjelasanku pemuda itu bernafas lega lalu meraba dahinya hingga tangannya ternoda darah dari dahinya, namun dia terlihat biasa saja.
"Aku tidak apa-apa, hanya luka kecil saja.." Ucapnya santai saja, namun kepanikanku tak hilang jua oleh jawabannya. Aku trauma dengan segala macam yang namanya luka, besar ataupun kecil.
"Tidak, aku harus mengobatimu karena aku yang menyebabkan kamu terluka, kamu harus ikut denganku.." Ujarku heboh sendiri, tanpa pikir panjang lagi aku segera menarik lengan pemuda itu dan ku bawa pergi dari sana, rencananya aku akan membawanya ke Villa karena di sana kotak obatku tersimpan.
Melihat sikapku sepertinya pemuda itu sedikit terkejut, ku rasakan dia meronta dan menarik lengannya, namun aku lebih kuat mencengkramnya dan menggusurnya agar ikut denganku.
"Kamu mau bawa aku kemana sih? Sudah lepasin saja, aku baik-baik saja kok.." Teriaknya dan sedikit menahan langkahnya
"Sudahlah kamu menurut saja, biarkan aku bertanggung jawab untuk kesalahan yang aku lakukan, aku hanya ingin mengobatimu bukan untuk menyakitimu lagi.." Ujarku tetap memaksa menarik dirinya
"Kamu tidak perlu lakukan itu, aku kan sudah memaafkanmu jadi kamu tidak perlu bertanggung jawab apapun"
"Please deh kamu nurut saja yah, buat ini lebih gampang dan cepat, aku hanya tidak ingin seumur hidupku merasa bersalah karena telah membuatmu terluka dan aku tak bertanggung jawab kepadamu, aku akan sangat tersiksa di dera rasa bersalah nantinya.."
"Yasudah, lakukan semaumu.." Akhirnya cowok itu pun pasrah juga, dengan tenang dia akhirnya mengikuti langkahku menuju Villa penginapanku yang tak begitu jauh dari arah pantai..
***
Tiba di Villa aku segera mengambil kotak peralatan obatku lalu dengan hati-hati segera membersihkan luka di dahi pemuda itu dari sisa-sisa darah yang mengering menggunakan kapas yang sudah di basahi sedikit alkohol agar tidak terjadi infeksi pada lukanya, setelah itu ku tetesi dengan obat luka dan terakhir ku balut dengan perban.
Usai mengobati lukanya aku pun bisa bernafas lega, rasa panik pun mengendur, ku rapikan kembali kotak obatku, seiring rasa panik itu hilang kini aku sedikit jelas memperhatikan pemuda ini, dia sesosok pemuda sepantaranku, anehnya dia hanya memakai celana pendek saja yang ku pikir celananya itu aneh sekali, entah bahan celana itu terbuat dari kulit kayu atau dedaunan, aku tidak mengerti.
Namun walau begitu dia pemuda yang sangat rupawan, dan jujur aku cukup terpesona oleh ketampanan pemuda ini, dia memiliki sepasang mata yang bening namun terasa meneduhkan sehingga aku merasa nyaman di bawah tatapannya, warna bola matanya coklat muda, garis hidungnya mancung dan dia memiliki senyum yang amat manis, rambut dia sedikit gondrong bergelombang dan berwarna coklat keemasan, entah itu asli atau di cat karena aku juga melihat alisnya berwarna coklat namun lebih tua, tubuhnya cukup tegap dan sedikit berotot berbalut kulitnya yang eksotis. Oh kenapa aku malah jadi mengaguminya, gila. Wajahku pasti jadi merah karena malu sendiri.
Yang pasti aku seakan melihat pahatan sempurna karya seniman ukir maha dahsyat berada di hadapanku, indah sekali, bagai dewa yunani yang turun dari taman Firdaus. Aku tak mampu berkata lagi.
Mungkin saja pemuda ini seorang model yang sedang ada pemotretan atau bintang film yang lagi syuting di pantai Pangandaran, walau tadi aku tak melihat peralatan pemotretan atau syuting di sana, tapi pisiknya yang rupawan menguatkan dugaanku kearah sana. Apalagi melihat celana anehnya yang ku pikir itu kostum bagian dari pemotretan atau syuting.
"Memangnya sedang apa kamu tengah malam berada di pantai sendirian, sedang berenangkah atau mungkin kamu model ya yang sedang pemotretan atau syuting?" Tanyaku mencoba mengorek keterangan.
Dan tanpa terbantahkan aku semakin menikmati kehangatan yang menjalari hatiku saat beradu pandang dengan dirinya, sorot mata teduhnya melenakan jiwaku, aku mulai terperangkap oleh rasaku.
"Berenang? Aku agak bosan dengan namanya berenang teman.." Jawabnya santai, beberapa kali dia meraba-raba perban yang membalut luka di dahinya, seakan dia merasa aneh di perban seperti itu.
"Berarti kamu sedang syuting atau pemotretan yah, dan kayaknya kamu bintang film atau model baru yah, karena aku belum pernah melihat kamu sebelumnya di manapun.." Tanyaku lagi meyakinkan dugaanku.
"Syuting? Pemotretan? Apa semua itu aku tak mengerti?" Alisnya bertaut dan tampak bingung, ternyata dugaanku salah, tapi bisa saja dia sedang menyembunyikan identitasnya. Biarlah toh aku tak perduli siapapun dia.
"Namaku Imam Pamungkas, dan siapa nama kamu?" Ku ulur tanganku kepadanya, entah kenapa seperti ada dorongan agar aku berkenalan dengannya. Oleh rasa hangat itu.
"Nama? Emmmh.. Ahya namaku Nemo, panggil aku Nemo yah" jawab pemuda itu riang setelah sebelumnya terlihat sedikit berpikir, agak ragu dia mengulurkan tangannya, namun anehnya dia tidak menjabat tanganku, tangannya hanya terulur di dekat tanganku saja, aku pun segera menjabat tangannya dengan perasaan aneh di otakku.
"Namamu kok kayak nama ikan di film animasi kesukaanku yah.." Ucapku sedikit bercanda untuk mencairkan suasana.
"Benarkah? Apakah ada nama ikan lain seperti namaku?" Seru Nemo menatapku, sorot matanya nampak begitu tertarik dengan apa yang ku katakan
"Iya, itu kan hanya ada di film animasi saja, mana ada ikan punya nama.. Memangnya kamu belum pernah nonton film itu, kan sudah lama beredar.."
"Aku tidak tahu, boleh gak aku bertemu ikan itu?"
"Bertemu? Maksudmu melihatnya? Wah kasetnya tidak ku bawa lain kali saja ku tunjukan padamu.."
"Kenapa tidak sekarang saja?" Nemo tampak bersemangat
"Tidak bisa sekarang.."
"Kenapa?"Nemo tampak kecewa dan entah kenapa aku merasa menyesal telah membuatnya kecewa, ada apa ini.
"Aku pasti akan memperlihatkannya padamu jika kita bertemu lagi nanti" janjiku padanya, mendengar itu dia kembali terlihat ceria
"Benarkah, kamu janji yah.. Aku pasti akan menemuimu lagi.." Ucapnya dengan mata berbinar, lega rasanya melihatnya seperti itu
"Iya aku janji, tapi ngomong-ngomong sedang apa sih kamu di pantai tengah malam bertelanjang dengan celana pendek aneh itu..?" Aku kembali ke topik awal, aku masih penasaran dengan yang sedang di lakukan Nemo berkostum aneh di pantai sendiriran, yang di tanya hanya terdiam, lalu tiba-tiba menghela nafas panjang dan meluncurlah cerita darinya.
"Sebenarnya aku baru saja datang dari kampungku yang sangat jauh tapi sewaktu aku tiba disini ada beberapa manusia jahat yang merampas semua barang-barang milikku, sekarang aku tak punya apapun lagi, saat di pantai aku sedang bingung harus kemana dan harus melakukan apa di sini sedangkan aku tidak kenal seorangpun disini, hingga akhirnya kamu melukai dahi ku, lengkap sudah kesialanku malam ini.." Jelasnya tampak sedih, aku jadi trenyuh dan simpati mendengarnya, kenapa sih ada orang yang tega berbuat jahat sama pemuda semanis ini.
"Pantesan saja kamu seperti orang linglung begitu sedari tadi, lalu sekarang apa rencana mu..?" Tanyaku
"Entahlah.." Dia hanya mengangkat kedua bahunya dengan mimik bingung, aku jadi kasihan padanya dan merasa terpanggil untuk menolongnya. Tapi entah bagaimana caranya.
"Begini saja, jika kamu tidak keberatan kamu tinggal disini saja bersamaku untuk sementara, kebetulan aku menginap disini sendirian, nanti jika kamu sudah punya rencana bagus kamu boleh pergi.."Usulku sedikit ragu, takut menyinggung perasaannya dengan penawaranku itu. Dia tampak terkejut mendengar usulanku, sejenak menatapku dengan rona tak percaya.
"Tapi aku tidak memiliki apapun untuk menyewa disini.."
"Kamu tidak perlu membayar.."
"Benarkah? Kamu percaya padaku?"
"Instingku mengatakan kamu orang baik dan aku percaya padamu, aku hanya ingin membantumu teman.." Ucapku bersungguh-sungguh.
"Jika begitu aku mau, terimakasih karena kamu udah baik sama aku.." Lirih Nemo pelan, namun ku lihat binar senang di matanya yang teduh
"Sama-sama.. Ohya kamu tunggu sebentar disini yah.." Aku pamit meninggalkannya menuju kamarku lalu mengambil satu stel pakaianku yang kira-kira cocok dan pas di tubuh Nemo, setelah ku dapatkan aku segera kembali menemuinya.
"Sepertinya pakaian ini muat di tubuhmu, pakailah dari pada kamu semalaman bertelanjang begitu, nanti kamu masuk angin.." Ucapku sambil menyerahkan pakaian itu padanya, dengan sedikit ragu dia menerimanya.
"Pakailah, itu untukmu.." Ujarku meyakinkannya saat dia menatapku ragu, dia pun akhirnya tersenyum senang memeluk dan mencium pakaian itu lalu di letakannya di sova sementara dia tiba-tiba melorotkan celana pendeknya begitu saja di hadapanku tanpa sungkan, tentu saja itu membuatku terkejut dan risih, walau di lain sisi ingin melihatnya juga. Aku masih jadi gay yang normal dan tentunya tidak akan melewatkan tubuh pemuda sexy serta hot telanjang bulat gratis nampang di hadapanku, siapapun pasti tergoda sepertiku. Tapi aku menahan diri hanya sesekali curi-curi melirik dengan dada super dag dig dug.
Untung saja itu tidak lama, Nemo pun segera memakai pakaian yang ku berikan dan memang pas banget. Dengan berseri dia memamerkannya padaku.
"Gimana teman, apa aku pantas memakai ini?" Soraknya kini lebih ceria, ku acungkan dua jempol padanya.
"Aku kini jadi seperti kamu nih.. Akhirnya aku jadi manusia sepertimu.." Celotehnya kegirangan seakan anak kecil yang mendapatkan mainan baru. Alisku bertaut heran mendengar perkataannya.
"Bukankah kau memang manusia?" Tanyaku
"Eh ehmmm maksudku, tadi kan aku telanjang seperti orang tak waras nah kalau sekarang kan aku berpakaian sepertimu jadi aku tidak seperti orang gila lagi.." Jawabnya tergagap, aku hanya tersenyum mendengar alasannya, yah itu masuk akal karena dia tadi memang seperti orang tak waras. Orang gila terganteng dan tersexy mungkin.
"Terimakasih untuk semua kebaikanmu teman.." Tiba-tiba dia memelukku dan berbisik haru, aku jadi gelagapan tak menyangka dia akan seperti ini, dadaku jadi penuh gemuruh tak karuan.
Dan rasa hangat itu semakin mengalir deras, mencumbu kedamaian, menenangkan riuh kemarahan. Ada nada lain mengalun menggantikan nada sumbang di jiwaku.
"Sudahlah tidak apa-apa kok, aku senang melakukannya.." Balasku sambil menepuk lembut punggungnya.
"Sebaiknya kita sekarang istirahat, sudah sangat larut, biar ku tunjukan kamarmu yah.." Lanjutku dan segera melepaskan diri dari pelukannya, aku segera membawanya ke sebuah kamar dan menyuruhnya segera istirahat, dan aku sendiri pun berlalu ke kamarku, rasa penat membuat aku ingin segera istirahat.
***
Bersambung...
Comments
Setelah mandi aku mengajaknya sarapan di luar karena di Villa tak ada yang memasak.
Hanya saja ada yang aneh pagi ini, saat sarapan aku melihat dahi Nemo sudah tak lagi memakai perban, bahkan lukanya sudah sembuh dan sama sekali tak meninggalkan bekas, aku tak yakin obat yang ku pakai mengobatinya bisa seajaib itu menyembuhkannya hanya dalam semalam saja, namun itu nyata ada di hadapanku, tapi sudahlah aku malah senang jika lukanya sudah sembuh sehingga aku tidak usah mengkhawatirkannya lagi.
***
Tidak terasa sudah tiga hari Nemo tinggal bersamaku di Villa, sejak keberadaan dia hidupku terasa lebih ceria, sedikit demi sedikit aku bisa melupakan sakit hati serta kekecewaanku yang di sebabkan putusnya hubungan cintaku dengan Dennis. Dan senangnya aku juga akhirnya bisa melupakan wajah bajingan itu dalam pikiranku.
Hanya saja sebagai gantinya wajah si tampan Nemo kini mewarnai kehidupanku, berputar-putar di otakku lalu tanpa ku minta menyusup ke dalam sanubariku, ibarat virus yang menyebar tak terkendali. Kepolosannya, kelucuan sikapnya yang terkadang malah terkesan konyol menjadikan hiburan tersendiri bagiku. Walau di lain sisi sosoknya yang rupawan juga menjadi hal yang sedikit menggelitik imanku.
Wajar sih, hanya gay yang gak normal yang tidak tergoda pemuda tampan dan hot seperti Nemo, aku yakin siapapun perempuan ataupun lelaki gay lain yang melihat dia sudah pasti akan rela berada terus di dekatnya atau mendekam di pelukannya. Nemo sosok yang menyenangkan dan dia pemuda yang sungguh mendekati sempurna untuk di jadikan pasangan.
Tuhan apa mungkin aku sedang jatuh cinta padanya? Tapi rasanya itu tidak mungkin, aku bukan tipe orang yang mudah jatuh cinta atau berpindah-pindah hati secepat itu, tapi entah kenapa semenjak hari pertama bertemu dengannya ada perasaan lain di hatiku, kehangatan yang menenangkan, kenyamanan yag selama ini ku cari. Aku merasa senang jika berada di dekatnya.
Biaya pengeluaran liburanku kini jadi bertambah karena adanya dia, tapi itu tidak menjadi masalah buatku, aku ikhlas membantunya dan hal anehnya aku senang jika membuatnya senang.
Hari Minggu ini seharian aku mengajak Nemo berjalan-jalan ke tempat-tempat yang memang sejak awal ingin ku kunjungi, seperti pergi ke Batu Hiu, ke Taman Wisata dan Cagar Alam, melihat penyu di pantai pasir putih, menikmati ombak yang mendera karang di pantai timur, atau naik perahu sewaan dan berkeliling seputaran pantai. Sangat menyenangkan sekali.
Aku bahagia, itu yang ku rasa saat ini, ingin rasanya aku memamerkan ini pada Dennis, biar dia tahu seorang Imam Pamungkas masih bisa hidup walau tanpa dia dan masih ada yang lebih indah dari hanya sekedar memikirkan dirinya yang tak berguna.
Ah andai bisa Nemo ku pamerkan sebagai kekasihku, tapi itu hanya akan jadi mimpi bunga tidurku saja, pemuda ini tak mungkin mau jadi kekasihku, dia bukan gay sepertiku dia hanya pemuda normal yang tersasar dan lalu bertemu lelaki gay yang sedang patah hati di pantai dan lalu membantu dirinya.
Sepanjang jalan-jalan bersamanya aku di buat merasa bangga namun juga cemburu habis-habisan, cemburu yang tak beralasan sebenarnya.
Akar masalahnya setiap bertemu orang-orang terutama gadis-gadis muda selalu saja mereka cari-cari perhatian pada Nemo, aku sendiri tidak di gubrisnya sama gadis-gadis itu, menyebalkan.
Bahkan ada juga homo nekat ikut-ikutan main mata kepada Nemo, rasanya ingin ku hajar homo ngondek itu, seenaknya saja mau menyerobot langkahku.
Tapi yang menyebalkan dengan ramahnya pemuda itu meladeni kecentilan gadis-gadis itu, membuat kepalaku panas tiba-tiba, untung saja saat mereka meminta no HP, akun Facebook, atau twitternya sepertinya Nemo tak memiliki semua itu dia malah berbisik kepadaku menanyakan tentang yang di minta gadis-gadis itu, aku heran entah dia hidup di dunia seperti apa di kampungnya, mungkin saja di hutan pedalaman seperti suku Dayak atau suku Baduy kali yah.
Tapi syukurlah, aku jadi merasa lega setidaknya gadis-gadis itu tak mendapatkan apapun dari Nemo. Hanya saja aku cukup terkejut juga aku tidak menyangka ternyata pemuda ini pintar sulap, karena tiba-tiba saja dia sudah membagikan sekuntum mawar putih pada mereka, entah mawar itu di dapatkannya darimana, padahal setahuku aku tak melihat dia memetiknya dari taman manapun atau dia membelinya dari pedagang bunga, aku bersamanya sejak dari Villa dan aku tak melihat dia membawa bunga. Pemuda yang unik ku pikir.
"Aku gak nyangka kamu bisa sulap, tapi kamu ini pelit juga ya.." Kataku saat gadis-gadis itu sudah pergi
"Kenapa?" Tanyanya tampak heran menatapku
"Kamu membagi gadis-gadis itu bunga tapi tak satupun di sisakan untukku.."
"Kau mau juga? Kau kan laki-laki.."
"Tak harus perempuan kan yang suka bunga kan, laki-laki juga banyak yang suka, termasuk aku.."
"Aku juga suka bunga, makanya ku beri mereka bunga, bunga apa yang kamu suka teman?"
"Aku suka Anggrek dan Tulip.."
"Baiklah, pejamkan matamu.."
"Mau apa kamu?"
"Pejamkan saja hingga nanti ku suruh buka.." Dengan sedikit penasaran aku pun memejamkan mataku, beberapa detik hanya deburan ombak yang ku dengar dan tiupan angin yang membelai wajahku. Aku menunggu.
"Sudah, nah sekarang buka matamu.." Terdengar suara Nemo, perlahan akupun membuka mata dan betapa terkejutnya aku saat ku lihat di hadapanku Nemo sudah memegang beberapa kuntum bunga Tulip warna warni dan juga Anggrek, aku benar-benar tak percaya dengan yang ku lihat, ku pandangi sekeliling dan tak ada satupun penjual bunga disini. Nemo menyerahkan bunga itu dengan senyumnya yang manis padaku.
"Spesial untukmu.." Ucapnya terdengar lembut dan melenakan hatiku, segera ku terima bunga-bunga itu dengan hati bahagia.
"Terimakasih.." Balasku tersipu, ku hirup aroma bunga itu penuh perasaan. Ini akan menjadi moment yang takan pernah ku lupakan, terasa romantis dan sangat indah. Aku seperti putri yang sedang di lamar oleh sang pangeran impian.
**
Lelah berjalan-jalan aku mengajak Nemo makan di Mambo Restaurant, tempat itu menyediakan berbagai makanan khas seafood yang masih fresh, aku suka sekali menikmati kepiting atau cumi saus tiram namun entah kenapa Nemo menolak mentah-mentah ajakanku makan di sana, bahkan dia beberapa kali mengutuk restaurant itu bahwa itu bukan tempat makan tapi neraka karena mereka sangat kejam selalu menangkapi, membunuh dan lalu di masak hewan-hewan laut itu untuk di jual, Nemo benci mereka.
Aku jadi sedikit heran dan jadi tahu rupanya Nemo seorang vegetarian dan dia pecinta binatang, pantas saja di Villa dia tidak mau menyantap pesanan ayam atau ikan atau menu masakan yang di buat dari daging binatang apapun, walau aku sudah bilang masakan itu halal.
Akhirnya siang itu aku mengajaknya makan di tempat lain yang tak banyak menyediakan menu masakan dari daging binatang.
Usai makan siang aku mengajaknya belanja beberapa pakaian dan sepatu di Pasar Wisata yang tak jauh dari pantai barat itu karena dia sama sekali tak punya apapun untuk di pakai, aku kasihan juga jika dia terus-terusan memakai pakaian bekasku, aku ingin memberi yang lebih baik padanya.
Saat mau pulang tak lupa aku mampir ke toko DVD dan membeli film Pinding Nemo yang waktu itu sempat ku janjikan untuk menunjukannya padanya, sore ini rencananya aku akan mengajaknya nonton bareng di rumah, dia pasti akan senang dengan rencanaku.
**
Sementara ini aku menikmati kebersamaan dengannya, dan berusaha tak ku pedulikan perasaan aneh yang terus merangsek ke dalam hatiku, biarlah ku jalani seperti ini, hanya sebentar saja karena tak lama lagi aku pasti berpisah dengannya, saat liburanku habis dan aku harus kembali ke Jakarta maka semua itu akan berlalu dan terlupakan. Sosok Nemo hanya akan tersisa sebagai salah satu kenangan indah dalam hidupku.
Hanya saja ada yang masih harus ku lakukan padanya sebelum aku benar-benar pergi meninggalkannya, sebuah rencana yang bagus untuknya.
***
Bersambung..
gak apa kan baca lagi?!
"Mo apa kau masih tidur, kita kan mau nonton, jadi gak neh..?" Panggilku pelan, tapi tetap tak ada reaksi dari dalam kamarnya, sepertinya dia benar-benar ketiduran, sebaiknya aku tidak membangunkannya, kasihan juga mungkin dia benar-benar kecapean. Yah walau aku sedikit kecewa juga karena acara nonton nya jadi batal tapi tidak tega juga mengganggu tidurnya.
Aku pun memilih meninggalkan kamarnya dan kembali ke ruang TV, namun baru selangkah kakiku berjalan terdengar suara pintu kamar terbuka di belakangku, spontan aku segera menoleh dan mataku menangkap sosok Nemo keluar dari dalam kamar. Dia terlihat segar.
Penampilan Nemo sore ini terlihat beda, dia telihat fresh dan semakin tampan saja, sejenak aku terpesona menatapnya. Rambut panjangnya yang coklat keemasan dan katanya warna asli tanpa polesan cat rambut itu di ikat rapi dengan gelungan di atas puncak kepalanya, seperti ikatan rambut perempuan tapi tak meninggalkan kesan manly yang sudah kental didirinya, tubuhnya di balut kaus oblong putih berleher v rendah yang ngepas badan sehingga menonjolkan lekukan otot-otot kekar di tubuhnya di padukan dengan celana pantai panjang berwarna putih dengan motif ala pantai.
Pakaian yang kami beli di Pasar Wisata itu terlihat sangat cocok di tubuhnya, ternyata aku tak salah pilih saat tadi aku memilihkan pakaian itu untuknya.
Sesaat aku seakan sedang melihat aktor ganteng korea sedang berdiri di hadapanku, hanya saja ini aktor korea satu-satunya yang berkulit coklat eksotis.
"Koq malah bengong sih.." Mataku mengerjap dan segera sadar dari khayalanku, ku lihat Nemo menatap dekat di wajahku dengan senyum manisnya jemarinya mengibas-ngibas dekat sekali di depan mataku. Aku jadi tersipu malu.
"Eh.. Siapa yang bengong.." Kelitku
"Nah barusan.."
"Itu.. Itu karena aku sedang memikirkan sesuatu saja.."
"Apa yang kamu pikirkan?" Tanyanya penasaran
"...."
"Koq gak di jawab, beritahu aku apa yang kamu sedang pikirkan, ayolah?"
"Bukan apa-apa, lupakan saja.." Ujarku mengelak
"Pokoknya aku ingin tahu.."
"Sudahlah bukan hal penting, mendingan kita segera nonton saja yuk.."Ajak ku mengalihkan pembicaraan dan segera mendahului pergi
Namun saat aku sedang berjalan tiba-tiba dua tangan kekar melingkar di bahuku memelukku, membuat aku jadi terkejut, entah kenapa hatiku serasa tersetrum ribuan volt. Dag dig dug bagai bedug lebaran menyerbu dadaku, apalagi saat sosok yang memelukku itu lalu menyandarkan dagunya di bahuku dan rahangnya yang kuat menggesek-gesek pipiku lembut, rasanya seluruh otot di tubuhku serentak tegang saat itu, aku menggigil padahal tidak sedang kedinginan.
"Aku ingin tahu apa yang kamu pikirkan, ayolah beritahu aku teman, aku penasaran sekali?" Bisiknya di telingaku terdengar merajuk membuat sekujur tubuhku merinding tak karu-karuan.
"Sudah ku bilang bukan hal penting.." Sergahku ku coba menata hatiku yang berdebar-debar
"Tapi aku tetap ingin tahu"
"Sudah ah lepasin, nanti di lihat orang bisa mikir aneh-aneh tahu.." Ucapku berusaha melepaskan diri
"Gak ada orang tuh.."
"Nanti ada orang.."
"Biarin saja orang lihat, aku gak peduli koq, aku senang memelukmu begini.." Balasnya menggodaku, malahan semakin mempererat pelukannya, jari jemarinya mulai menggelitik kulit perutku sehingga aku menggelinjang kegelian. Oh apa maksudnya pemuda tampan ini bicara seperti itu, tidak tahu kah dia jika perbuatan dan kalimatnya tadi itu telah membuat aku begitu bahagia dan berbunga-bunga, tidak tahu kah telah tumbuh harapan di hatiku kini.
Sadar Imam sadar, ini hanya sebuah mimpi dan akan tetap jadi mimpi, tak mungkin cintamu menjadi kenyataan. Ini semua hanya sebuah harapan yang mungkin kini telah tumbuh pucuk namun tak mungkin akan berbunga dan berbuah sampai kapanpun.
"Lepasin Nemo atau filmnya tak jadi ku putarin yah.." Bisikku sedikit mengancam, aku harus segera lepas dari dekapannya atau aku bisa pingsan saat ini juga. Untung saja ancaman ku cukup berhasil, dia langsung melepaskan dekapannya lalu manyun-manyun gak jelas di sampingku. Aku bernafas lega.
"Bisanya cuma ngancam, jadi kamu gak mau di peluk aku yah.." Sungutnya dengan gaya lucunya, oh tahu kah dia jika aku sangat mau terus di peluknya seperti itu, tapi tahu juga kah dia semua itu hanya akan menimbulkan harapan yang lebih dalam di hatiku, aku belum sanggup terluka untuk kedua kalinya jadi aku harus segera menghindar dari perasaanku padanya.
"Jangan aneh-aneh ah, udah yuk kita putar filmnya.." Jawabku dengan tegas dan segera berlalu menuju ruangan tv. Di belakangku terdengar langkah-langkah dia mengikutiku seirama dengan debaran jantung di dalam dadaku.
***
Sepanjang menonton tak henti-henti Nemo berceloteh, dia benar-benar menyukai film animasi dengan tokoh ikan clownfish buatan negara paman Sam itu, dia terkagum-kagum sekali pada perjuangan ayah si ikan yang begitu berat dan berliku namun penuh semangat saat mencari anaknya yang hilang tertangkap Nelayan.
Aku yang melihat tingkahnya hanya bisa tersenyum-senyum merasa lucu, dia seperti anak kecil yang kegirangan saat menonton film kesayangannya, terus saja berceloteh bahkan memaki saat muncul ikan Hiu jahat di film itu atau saat Nemo tokoh film itu terancam keponakan si Dokter gigi yang jahat.
Di balik semua itu aku bahagia melihat keceriaan dan kebahagiaannya. Ada kepuasan dalam hatiku saat melihat matanya yang berbinar-binar ceria, mata yang terlihat berwarna hijau karena pantulan cahaya.
Saat sedang asyik-asyiknya memperhatikan si tampan Nemo tiba-tiba aku di kejutkan dengan deringan handphone-ku, saat ku lihat ternyata panggilan dari Romie sahabatku, aku segera menyingkir ke ruangan lain untuk menerima panggilan itu karena di sana terlalu berisik oleh suara televisi dan celotehan Nemo.
"Ya Rom ada apa?" Sapaku saat panggilan telah tersambung, sudah cukup lama aku tak pernah menggubris panggilan telfon dari sahabat terbaikku ini, kemarin-kemarin aku begitu malas dengan siapapun, jadi sengaja aku mematikan handphoneku sejak berada di Pangandaran, baru sore ini aku hidupkan kembali HPku dan Romie menjadi orang yang pertama menelfonku setelah ratusan smsnya tadi memenuhi inbox message ku.
Aku tahu dia pasti sangat mengkhawatirkanku karena Romie sangat tahu alasan kepergianku dari Jakarta, jadi sebaiknya aku menerima panggilannya dan menjelaskan padanya jika aku baik-baik saja sekarang ini.
"Akhirnya HPmu aktif juga dan kamu mau angkat telfonku?" Suara Romie disana tampak lega
"Gimana keadaan kamu Im.." Tanyanya kembali
"Its ok. I'm fine, Rom.." Jawabku santai
"Seriusan Im? Aku tahu banget keadaanmu saat kamu pergi waktu itu"
"Aku serius.. Serius banget malah, aku udah gak apa-apa koq, aku baik-baik saja.."
"Syukurlah kalo begitu, aku lega mendengarnya, tapi koq bisa sih? Aneh rasanya mengingat perasaan kamu seperti apa sama bajingan itu?"
"....."
"Kamu beneran baik-baik aja disana.."
"Hei, emang kamu gak senang aku udah baik-baik saja?"
"Sangat senang lah, tapi gimana itu bisa terjadi?" Tanyanya dengan nada penasaran
"Itu bukan hal sulit koq, dia bukan segalanya bagiku jadi tak mesti aku memikirkan dia lagi, masih banyak hal di dunia ini yang bisa ku pikirkan selain hal gak penting seperti dia.." Ucapku dengan penuh keyakinan, sejujurnya dalam hatiku benar-benar sudah tidak ada perasaan lagi sama Dennis, karena sudah ada Nemo di hatiku walau aku sadar itupun tanpa harapan pasti.
Bahkan jika sekarang tidak di ingatkan Romi soal si bajingan Dennis sepertinya aku sudah lupa semua tentang dia, tak ada kebencian lagi padanya di hatiku namun juga tak ada tersisa cinta sedikitpun untuknya lagi. Dan aku pikir semua itu terjadi berkat keberadaan Nemo, aku bersyukur bertemu pemuda itu karena sudah merubah diriku.
"Apakah ada sesuatu yang terjadi disana yang tak ku tahu?" Tebak Romie terdengar curiga seakan bisa membaca pikiranku, sahabat ku satu ini memang orangnya sensitif banget apalagi dia sangat tahu siapa aku ini, wajar jika dia mencurigai keadaanku, tapi untuk saat ini belum saatnya aku bercerita padanya.
"Tidak ada apapun, aku hanya berusaha memperbaiki hidupku.." Jawabku memberi alasan. Namun sepertinya aku tak bisa menyembunyikan apapun dari Romie karena tiba-tiba terdengar suara orang memanggil namaku cukup kencang, itu suara Nemo, dan pasti Romie juga mendengarnya di sebrang sana, terbukti dia langsung saja mencecarku.
"Tuhkan aku juga sudah curiga pasti ada sesuatu, suara siapa itu tadi cowok yang memanggil kamu begitu mesra? Kamu nyembunyiin sesuatu dariku yah?" Mendengar cecarannya aku jadi bingung sendiri, aduh apa yang harus ku ceritakan padanya nih, udah begitu dia mengada-ngada banget pake bilang Nemo memanggil dengan mesra, itu kan hanya teriakan biasa saja.
"Gak ada suara apapun disini, kamu salah dengar kali, gak ada yang memanggilku kok.." Ucapku berusaha membantah, aku benar-benar belum siap bercerita, karena memang belum ada yang layak ku ceritakan, jika ku bilang aku menolong pemuda yang kesasar dan ikut menginap bersamaku di Villa seperti pada kenyataannya aku tahu Romie pasti tak akan percaya, dia pasti akan terus mencecarku dengan otaknya yang selalu penuh dengan kecurigaan dan selalu ingin tahu masalahku.
"Aku jelas-jelas mendengarnya koq, kamu kira aku udah tuli ya?" Serunya dengan yakin, dan berbarengan itu suara Nemo memanggil namaku kembali terdengar dengan lebih kencang dan jelas.
"Nah kan ada lagi, ceritakan siapa dia padaku sekarang juga. Aku gak nyangka ternyata kamu punya simpanan kekasih lain pantas saja kamu bilang baik-baik saja" Tuduhnya dengan seenaknya, aku hanya bisa tersenyum masam mendengar tuduhannya itu, ah andai itu benar jika Nemo adalah kekasihku.
"Ada-ada saja kamu, emangnya uang di simpan-simpan, udah ah kamu itu hanya salah dengar, udah ya aku matikan, aku mau tidur udah ngantuk.." Kelitku dan segera berpamitan, tanpa menunggu jawaban Romie aku segera mematikan sambungan telfon darinya, ku cabut baterenya sebelum Romie menelfonku kembali, aku tahu dia akan terus menuntut penjelasanku jika sudah penasaran begitu.
Dan untuk ke tiga kalinya ku dengar si Nemo kembali berteriak memanggilku, aku pun segera menuju ke ruangan dimana dia berada.Tiba di ruang tv ku lihat dia sedang menatap panik televisi yang dalam keadaan mati, beberapa kali dia meraba dan memeriksa televisi itu bahkan di tepuk-tepuknya perlahan.
"Ada apa sih teriak-teriak?" Tanyaku padanya dengan keheranan, baru aku melihat dia sepanik itu
"Televisi tiba-tiba hilang gambarnya dan aku tidak bisa melihat ikan di dalamnya lagi, aku tidak tahu kenapa, mungkin aku telah merusaknya teman.." Jawabnya tampak menyesal, tanpa menjawabnya aku segera menghampiri saklar lampu di dinding dan ku tekan, ku lihat lampu tak menyala, seperti dugaanku saat ini sepertinya sedang mati lampu. Agak sedikit kesal juga sih sore begini mati lampu padahal sebentar lagi magrib, aku tidak suka kegelapan lagi.
"Sudah gak usah panik begitu, itu tidak rusak hanya sedang mati lampu saja, nanti juga menyala kembali koq.." Ujarku menenangkannya
"Benarkah?" Tanyanya tampak ragu, aku hanya mengangguk untuk meyakinkannya
"Lama gak?" Sahutnya tampak lega
"Entahlah, mungkin saja hanya sebentar tapi bisa juga cukup lama, tunggu saja.."
"....."
"....."
"Ohya kenapa tadi kamu ninggalin aku?" Tanyanya kini terlihat pandangannya menuduhku
"Aku kan tadi terima telfon, jika ku jawab disini berisik banget.." Jawabku
"Dari pacarmu yah?"
"Bukan, hanya seorang kawanku.."
"Jadi kamu lebih memilih kawanmu itu ya daripada menemani aku nonton?" Celetuknya tiba-tiba terdengar dingin, aku jadi terkejut mendengar perkataannya itu, kenapa dia ini? Kok tiba-tiba seperti sedang cemburu?
"Apa maksudmu?" Tanyaku tak mengerti, namun ku lihat dia malah merajuk membuat aku semakin bingung
"Sudahlah, aku gak mau nonton lagi kalau kamu gak mau nemenin, sudah sana kamu telfonan lagi saja dengan kawanmu itu.." Cibirnya tampak sewot
"Kamu kenapa sih?" Tanyaku benar-benar heran namun bukannya menjawab dia malah berjingkat meninggalkanku menuju kamarnya, aku segera menyusulnya untuk meminta penjelasan, karena aku benar-benar bingung dengan sikapnya. Mungkinkah Nemo sedang cemburu padaku karena aku menerima panggilan telfon dari orang lain? Tapi untuk alasan apa dia cemburu, itu yang ingin ku tahu alasannya.
Aku berusaha menahannya dengan mencekal lengannya namun dengan kasar dia menepis tanganku, sesaat sebelum dia masuk kamar dia menatapku tajam, matanya berkilat marah dan saat itu seketika aku begitu terkejut, aku melihat bola hitam di matanya berubah kemerahan, entah aku salah lihat atau bagaimana tapi saat aku mau memastikannya Nemo keburu masuk dan mengunci pintu kamarnya.
Berbarengan dengan itu beberapa detik ku rasa tempat yang ku pijak bergoyang, sepertinya ada gempa saat itu, hingga ada beberapa hiasan dinding yang jatuh, untung saja itu hanya sebentar, namun cukup membuat aku shock dan ketakutan.
Sesaat aku terpaku di depan kamar Nemo dengan penuh keheranan dan kebingungan atas semua yang terjadi sore ini. Ku gedor pintu kamarnya namun dia tak menggubrisku.
Aku pun segera berlalu kembali ke ruang tv karena ku dengar suara tv kembali hidup, sepertinya listrik sudah kembali menyala, ku matikan televisi dan dvd player yang kembali hidup dan aku segera berlalu ke kamarku.
Biar esok saja ku tanyakan alasan kemarahan dia dan aku akan meminta maaf padanya jika dia merasa aku telah mengacuhkannya saat nonton tadi.
***
Pagi ini aku terbangun kesiangan, biasanya pukul lima pagi aku sudah bangun dan menunaikan shalat subuh tapi kali ini aku bangun tepat pukul delapan pagi, itupun karena sinar matahari masuk melalu sela-sela tirai jendela kamar dan menyilaukan mataku.
Saat aku keluar kamar tidak ku temukan Nemo di manapun, apakah mungkin dia juga kesiangan dan masih di kamarnya, sebaiknya aku membangunkannya dan mengajaknya sarapan seperti biasanya, aku pun segera menuju kamar Nemo dan mengetuk pintu kamarnya, namun sudah cukup lama tak ada jawaban dari dalam kamar, iseng perlahan ku buka pintu kamarnya ternyata tidak di kunci, saat ku melongokkan kepala masuk melihat ke dalam rupanya Nemo sudah tidak ada di kamarnya, ranjangnya sudah rapi tanpa ada Nemo disana, aku jadi bingung dan khawatir, kemana kira-kira dia pergi ya?
Atau jangan-jangan dia sudah duluan pergi mencari sarapan ke luar, tapi dia kan gak pegang uang sepeserpun, sebaiknya aku segera mencarinya, kasihan dia pasti sudah kelaparan karena telat sarapan, sedangkan di dapur sama sekali tidak ada makanan kecuali snack dan minuman kaleng sisa kemarin sore.
Lagipula aku juga masih penasaran dan ingin memastikan soal bola matanya yang berubah warna kemerahan waktu kemarin sore, apakah mungkin dia menggunakan softlens di matanya tapi darimana dia bisa mendapatkan benda yang cukup mahal seperti itu, lagipula masa sih cowok semanly Nemo mau-maunya ikut alay pakai begituan, pakai warna merah lagi. Benar-benar aneh dan mustahil, dan tak bisa di percaya.
Aku pun segera mengganti pakaian lalu ke luar dari Villa, namun baru saja tiba di teras dari arah halaman Nemo datang mendekat, dia memakai ciput yang ku belikan di kepalanya, terlihat cocok dan membuatnya tambah keren, ku lihat celana bawahnya terlihat kotor dengan banyak pasir yang menempel sepertinya dia baru saja dari pantai.
"Darimana kamu Mo?" Tanyaku saat dia sudah dekat, mataku menyelidik melihat bola matanya namun yang ku lihat bola mata Nemo yang seperti biasanya, bening dan teduh juga berwarna coklat muda, tidak terlihat juga tanda-tanda dia menggunakan contack lens di matanya, sepertinya semalam aku memang hanya salah lihat saja, atau mungkin itu pantulan cahaya.
"Aku dari pantai.." Jawabnya terlihat ceria, dan dia tidak tampak masih marah seperti kemarin, dia malah tersenyum manis padaku, hatiku jadi merasa lega mengetahui itu. Orang ini benar-benar aneh, begitu mudah berubah, sepertinya aku kemarin sore hanya salah menduga saja saat dia merajuk, dia memang tak mungkin cemburu padaku.
"Maaf aku kesiangan jadi tadi gak sarapan tepat waktu, sebaiknya kita sarapan di luar saja yuk, kamu sudah lapar kan..?" Ajak ku padanya
"Aku sudah sarapan koq, kamu saja yang pergi.." Jawabnya sambil mengelus perutnya, aku jadi heran memangnya dia sarapan dimana, dan dapat uang darimana untuk membayarnya
"Benarkah? Kamu sarapan dimana?" Tanyaku penasaran
"Aku tadi sedang jalan-jalan di pantai lalu ada seorang pemuda terjatuh saat bersepeda, aku menolongnya dan dia mentraktir aku sarapan sebagai imbalannya, aku sudah menolaknya tapi dia memaksa ku terus akhirnya aku menurut saja.." Jelasnya penuh semangat, entah kenapa hatiku terasa panas dan sakit mendengarnya hingga kedua tenganku mengepal kencang
"Apakah pemuda itu tampan?" Tanpa sadar aku malah menanyakan itu
"Tentu, dia pemuda yang sangat tampan dan baik hati, aku senang saat mengobrol dengannya, dia pandai bercanda dan sikapnya sangat menyenangkan, dia juga mengajakku bertemu lain waktu.." Ceritanya dengan mata berbinar-binar, hatiku semakin perih mendengarnya, aku benar-benar cemburu, aku menduga pasti cowok itu seorang gay sepertiku dan dia terpikat oleh ketampanan Nemo, rasanya kini aku yang jadi marah padanya.
"Yasudah pergi saja temuin cowok itu, lebih baik aku sarapan daripada mendengarmu memuji-muji dia.." Sentak ku kesal dan segera pergi meninggalkannya
"Kamu kenapa teman?" Teriak Nemo terdengar heran
"Aku tidak apa-apa, aku hanya lapar.." Jawabku tanpa menoleh dan terus melangkah meninggalkannya
"Aku ikut kamu saja yah, daripada di rumah sendirian, aku juga kan lapar..." Ucapnya dengan senyum ceria, tiba-tiba saja dia sudah ada di sampingku mengiringi langkahku, mengagetkan saja aku pikir dia masih jauh di belakangku tapi rupanya mengikutiku, aku tak menjawab dan membuang muka darinya pura-pura cuek, namun dengan santainya dia malah mengalungkan lengannya di bahuku, merapatkan tubuhku ke tubuhnya, membuat aku kembali deg-degan dan panas dingin, pada akhirnya aku kembali tersenyum luluh. Nyatanya aku memang tak bisa marah padanya namun ku sembunyikan senyumku demi ego.
"Bukannya kamu sudah sarapan sama pemuda tampan dan baik itu.." Tanyaku pura-pura ketus
"Aku bohong padamu haha.." Jawabnya di barengi tawa lebar, aku memutar bola mata kesal mendengarnya, namun di lain sisi aku senang karena kedekatannya dengan sosok pemuda yang di katakannya itu bohong belaka, hatiku lega rasanya. Entah untuk alasan apa aku merasa lega dan senang, namun biar saja yang penting aku mersa senang sambil terus berjalan kini wajahku lebih ceria di sampingnya.
***