Gimana sih rasanya suka sama seseorang tapi kita gak bisa ngungkapin perasaan kita secara langsung? Ya bagaimana bisa, apalagi sukanya sama cowok, padahal kita cowok.
Ibel, mahasiswa semester tiga di salah satu universitas di depok jatuh cinta pada teman sekampus sekaligus satu kosan dengannya. Dia berhasil menahan segala perasaan sukanya pada cowok itu saat mereka sedang bersama. Namun saat liburan menyapa, dan dia harus terpisah dengan pujaannya itu. Rasa galau dan gelisah langsung menyapanya. Berbagai prasangka muncul di benaknya. Dia seperti orang sakau karena rindu meskipun baru beberapa hari saja.
Cerita ini mengisahkan bagaimana Ibel menghadapi semua perasaan yang menyerangnya, dan bertahan untuk tidak jadi gila karena cinta. Setidaknya bertahan sampai liburan usai. Tapi tidak semudah yang dia pikirkan, karena jalan pikirannya yang masih labil membuat dia sering kebingungan sendiri. Bingung apakah dia harus mencintai pujaannya itu.
**
Writer's note: Udah lama sebenernya pengen sharing cerita di BF. Tapi dari dulu belum nemuin cerita yang tepat untuk dibagikan sama teman-teman. Ini cerita baru saya garap, dan saya ingin langsung berbagi pada kalian. Cerita mungkin akan berkembang bila ada dari teman-teman yang kasih ide atau masukan tertentu, tapi plot utama cerita yang saya punya tetap berjalan. Saya harap bisa konsisten ngerjain project ini, dan bisa nyelesaiin ceritanya seperti yang sudah ada dalam otak ini.
Mengharapkanmu bisa kumiliki, seperti mengharapkan salju di musim panas. -Summersnow
Comments
HE USED ME!!
Sekali lagi kubenamkan kalimat itu dalam hatiku. He used me! Dia memanfaatkanku. Memperalat diriku untuk kepentingan dirinya semata. Menggunakan aku untuk membantunya karena dia sudah tahu ... kalau aku menyukainya.
Kupeluk lagi bantal gulingku dengan erat. Keadaanku semakin memburuk di hari ketiga minggu tenang perkuliahan karena Natal dan Tahun Baru. Begitu masuk nanti, sudah ada ujian akhir semester yang menanti seperti monster hutan yang telah siap memangsa.
Tapi bukan itu yang buatku begini. Buatku merasa tidak enak untuk melakukan apa pun. Buatku malas makan, minum, bahkan tidur pun sulit, begitu aku memejamkan mata aku langsung membelalak lagi. Rasanya seperti ada yang memanah hatiku dari kejauhan sehingga terasa ngilu. Tapi bukan panah cinta, melainkan panah ketidakpastian.
Aku galau.
Aku tahu ini bukan kali pertama diriku begini. Saat libur panjang setelah perkuliahan semester dua usai beberapa bulan lalu, aku juga begini. Hatiku berkecamuk, hilang arah, tidak tahu harus melakukan apa. Dan aku tahu kenapa aku begini, karena aku kesepian.
Libur perkuliahan artinya berpisah sementara dengan teman-teman kampus. Aku yang biasanya tinggal di kos-an mau tidak mau harus pulang ke rumah orang tua. Meskipun tidak jauh sampai ke Jawa Tengah atau sekitarnya, tapi jarak ini cukup untuk membuatku terpisah dari mereka. Teman-teman kuliahku. Sementara disini, aku tidak punya siapa-siapa.
Rumah yang kini kutinggali adalah rumah baru keluarga di utara kota, dekat laut dengan sistem polder mandiri yang mencegah banjir dan rob di komplek. Begitu kata salesnya kala mama dan papa sedang melihat-lihat di pameran properti di Jakarta Convention Center. Memang sih dekat dengan laut, pantai pun dapat ditempuh dengan bersepeda, bahkan berjalan kaki. Tapi, aku merasa disini benar-benar pelosok. Jauh dari teman-teman kampusku yang kebanyakan masih berada di kos-kosan karna libur tenang hanya 2 minggu. Kosan di selatan kota, dekat dengan kampus.
Dan jarak ini yang membuatku galau tidak karuan. Kesepian ini yang membuatku gila bukan main. Entah kenapa mama memaksa sekali aku untuk pulang setiap ada waktu libur 1 atau 2 minggu. Dan menginap selama liburan. Memangnya kita mau merayakan natal? Tentu tidak. Kalau tahun baru mungkin saja. Tapi masalahnya, mama memaksaku untuk pulang tanpa memberi garansi bahwa dia dan papa akan meluangkan waktu untukku. Anak laki-laki mereka satu-satunya.
Aku melirik ke laptop ku di meja belajar di seberang kasur. Mau main game apa lagi? Sudah bosan semuanya. Aku jadi makin uring-uringan sendiri sambil memeluk guling dan bantal erat-erat. Dan perasaan sepiku semakin terasa menekan di dalam dada hingga puncaknya aku melempar bantal tanpa tahu arahnya sampai mengenai gitarku yang digantung di dinding. Jatuh.
Brak!!
“Den! Den Ibel kenapa?” suara pembantuku terdengar dari luar kamar. Pintu kamarku tertutup dan dia mengetuknya dengan tempo cepat, kurasa dia panik.
“Gak pa-pa, Bi! Gitar Ibel jatuh,” aku berteriak membalasnya. Lalu tidak terdengar lagi suaranya.
Kupandangi gitarku yang jatuh tersebut. Ah biarlah dia disana. Aku sedang malas beranjak dari kasur ini. Lalu kutekan salah satu tombol dari smartphone ku sehingga layarnya menyala. Mataku langsung menuju baris notifikasi. Nihil. Tidak ada apa-apa. Kejadian enam bulan lalu bisa-bisa terulang.
Saat itu keadaanku tidak ada bedanya dengan sekarang. Liburan di rumah, kesepian, sendirian, dan menderita bosan akut. Kemudian aku melarikan diri dengan bergabung dengan suatu forum dimana kebanyakan penggunanya adalah laki-laki... yang membicarakan laki-laki. Gay.
Di forum itu aku berkenalan bahkan sampai ikut gathering sehingga dapat mengenal lebih banyak. Gathering itu benar-benar membuka mataku bahwa kami ada dimana-mana. Tidak perlu merasa sendirian karena pada sesama mereka saling peduli, meskipun tidak mengenal sekalipun.
Namun keadaan tidak selancar yang kuharapkan. Aku berkenalan dengan seorang laki-laki yang juga kuliah namun sudah semester akhir. Dia ganteng dan badannya pun ideal, tidak terlalu kurus namun tidak gemuk juga. Dia yang mengajakku berkenalan saat gathering, karena aku pemalu sehingga tidak biasa untuk membuka percakapan. Dan sepanjang acara gathering itu dia selalu menemaniku, karena dia tahu itu adalah gathering pertamaku dan aku tidak kenal siapa-siapa.
Sepulang dari gathering, kami masih saling kontak. Dua hari setelahnya, dia mengajakku ke kos-annya. Dia menjemputku sendiri di rumah ini. Aku diajak ke kos-annya. Semuanya terjadi begitu saja. Tanpa pakai akal, dari awalnya hanya menonton TV bersama sambil tidur-tiduran di kasurnya, berakhir dengan keadaan kami setengah telanjang dan telah berciuman hampir setengah jam. Aku benar-benar ingin menyudahinya saat itu juga, namun aku tidak ingin merusak suasana.
Setelah kejadian itu, aku hanya merenung. Yang kami lakukan tidak hanya sampai berciuman. Melewati itu. Mencapai suatu kegiatan yang tidak ingin kusebut lagi istilahnya karena aku benar-benar ingin lari dari hal itu. Aku telah melewati batas. Dan aku tidak ingin hal itu terjadi lagi kali ini.
Kini aku sendirian, kesepian, galau, tanpa tahu harus lari kemana. Aku tidak punya pelarian. Atau mungkin aku tidak tahu bagaimana harus mengalihkan semuga gejolak di hati ini. Ah iya.
He used me!
Kuucap lagi kalimat itu. Dia.. ya dia. Seseorang yang harus bertanggung jawab membuatku begini. Entah kenapa aku suka menyalahkan orang atas hal yang terjadi padaku meskipun orang itu tidak melakukan apa-apa. Hanya saja, aku hanya manusia biasa, tidak ingin disalahkan. Meskipun oleh diri sendiri.
Tapi setelah dipikir-pikir, dia melakukan sesuatu yang membuat aku semakin gila padanya. Semua kode yang ditunjukkannya padaku sebelum liburan ini membuatku terus melakukan reset ulang tentang penilaianku terhadapnya. Penilaian apakah dia sama denganku atau tidak. Apakah dia gay atau tidak?
Pikiranku melayang pada suatu malam kami berdua pulang bersama dari suatu seminar teknologi di kawasan Kuningan, Jakarta. Aku mengendarai mobil menuju stasiun Cikini dimana dia akan naik kereta untuk pulang ke kos-annya. Sementara aku saat itu disuruh pulang ke rumah oleh mama untuk acara ulang tahun papa. Saat mobil berhenti di lampu merah di seberang Taman Menteng dia mulai bicara.
“Itu Taman Menteng ya?”
“Yup. Kenapa? Baru kali ini lewat?” aku bertanya balik.
“Iya. Haha. Rame juga ya. Ini sampe malem rame begini?”
Aku mengangkat bahu. “Gak tahu. Gue gak pernah nongkrong disitu.”
“Banyak orang pacaran kayaknya,” tuturnya. Dalam hati aku berkata, ‘iya emang! Terus kenapa?’. Aku masih belum tahu arah pembicaraannya kemana.
“Iya kali,” kujawab seadanya. Lalu kulihat lampu sudah berganti menjadi hijau dan aku langsung tancap gas, belok kanan.
“Pacaran yuk,” katanya dengan nada yang ambigu. Antara serius atau bercanda. Antara mengajak atau memberi ide. Pikiranku berputar-putar tidak karuan hanya karena dua kata dari mulutnya. Otakku mencari-cari padanan kata yang tepat untuk membalas kalimatnya.
“Hah? Sama siapa?” tanyaku sok lugu. Berharap dia menjawab, ‘sama gue’.
“Hmm ya sama cewek lu, gue sama cewek gue,” katanya sambil terkekeh.
Dasar gila!
“Atur aja deh,” balasku tidak bersemangat. Lalu kami saling diam sampai bersuara lagi saat mengucapkan salam perpisahan di depan pintu masuk stasiun Cikini.
Tapi, meskipun sudah berpisah dengannya, sepanjang perjalanan ke rumah otakku masih memikirkan makna dari dua kata tadi. ‘Pacaran yuk’. Ah menyebalkan. Dia kalau sedang berbicara seringkali tanpa nada sehingga makna kalimat yang diucapkannya jadi tidak jelas. Blur. Ambigu. Aku kesal sendiri karenanya. Di lubuk hati, aku berharap, sungguh berharap, maksud dari kalimat itu sebenarnya adalah ajakannya untuk berpacaran denganku. Tidak terdengar terlalu muluk karena memang itu yang dikatakannya. Tidak mungkin aku salah dengar karena kami tidak sedang mendengarkan apa-apa di mobil. Satu-satunya suara, adalah percakapan kami berdua.
Namun aku tidak mau berharap. Aku tidak ingin berharap dan jatuh dalam kekosongan. Siapa yang mau jatuh di lubang yang sama dua kali? Sebisa mungkin aku belajar untuk menekan setiap harapan yang muncul di hatiku, karena kutahu harapan itu sembilan puluh persen adalah harapan kosong yang tidak mungkin kuraih.
Aku mencetuskan program rehabilitasi mandiri bernama DLH untuk mengatasi rasa mengharapkan berlebih yang sering kualami. Double Level Hope. Dua tingkat harapan sehingga kemungkinan aku untuk mendapatkannya hanya sepuluh dari sepuluh persen saja. Level pertama ada pertanyaan, ‘Apakah dia gay?’. Kalau tidak, hilang sudah semuanya. Kalau ya, dimana aku berharap begitu, lanjut ke level kedua. ‘Apakah dia menyukaiku?’.
Pertanyaan level kedua ini yang membuatku beku, karena aku benar-benar tidak ada bayangan akan apa yang akan terjadi meskipun pilihannya hanya dua, ya dan tidak. Sembilan puluh persen tidak, dan sepuluh persen saja untuk ya. Kalau memang dia menyukai laki-laki, apakah mungkin aku lah yang disukainya.
Sebenarnya DLH sudah cukup untuk menekan rasa sukaku padanya. Tapi itu sebelum kejadian di seberang Taman Menteng. Dan benteng DLH runtuh sudah ketika aku dan dia sedang pergi bersama ke Plaza Indonesia untuk bertemu dengan cewek yang sedang didekatinya. Hanya bertemu sebentar, dan syukurlah hanya sebentar. Karena aku merasa sangat tidak nyaman ketika mereka berdua saling ngobrol, aku sendiri hanya diam bolak-balik mengecek handphone meskipun tidak ada telepon atau chat yang masuk. Cemburu? Sedikit. Dan saat aku menghidupkan layar ponsel untuk kesekian kalinya, ternyata ada chat masuk dari teman dekatku, teman satu SMA.
Teman SMA-ku itu bercerita kalau dia ditawari kartu kredit ketika sedang jalan di mal. Dan ternyata, sales yang menawarinya itu adalah seorang gay dan sales itu modus pada temanku. Aku tertawa sendiri membaca ceritanya. Ketika kami sudah berpisah dengan cewek tadi, aku pun bercerita padanya tentang temanku.
“Jadi ternyata salesnya itu homo,” kataku mengakhiri cerita.
“Terus temen lu gimana?”
“Ya dicuekin sama dia. Temen gue itu normal kali,” jawabku sambil cengengesan.
“Ganteng gak?” pertanyaannya mulai nyeleneh.
“Kata temen gue lumayan ganteng. Sales gitu biasanya yang ganteng kali.”
“Lu gak mau?” tanyanya dengan nada yang datar. Ah, selalu begitu ketika dia mengatakan hal-hal mengarah ke ‘kode’.
“Dih, gak lah. Lu mau?”
“Mana sini nomornya,” jawabnya, seperti biasa, datar.
Aku langsung kikuk sendiri. Ini orang macam apa sih. Membingungkan gini. Seolah ada tembok raksasa yang mengelilingii setiap perkataannya sehingga aku sendiri tidak pernah mengerti maksud yang tersembunyi di balik tembok tersebut.
“Serius? Ini ada gue nomornya,” aku membalasnya dengan sedikit tawa bercanda, menganggap bahwa obrolan ini hanya guyonan belaka.
“Sini,” katanya. Dan pada akhirnya, tidak ada nomor yang kuberikan padanya. Karena memang kurasa semuanya hanya bercandaan. Tapi, rasanya candaan ini agak berlebihan.
Dan DLH benar-benar runtuh. Aku mulai berpikiran kenapa aku harus menahan semua gelora ini? Setiap inchi dari harapanku padanya. Bukannya aku malah menyiksa diri sendiri, menolak diriku untuk bahagia. Percaya atau tidak, aku menjadi lebih bergairah dan bersemangat ketika berada di dekatnya, ketika dihubungi olehnya, ketika menemaninya dan melakukan apa yang diinginkannya. Aku senang merasa dibutuhkan. Padahal sebenarnya aku yang membutuhkannya. Buktinya sekarang aku meringkuk lagi di kasurku dengan rasa tertekan yang amat dalam.
Aku memang membutuhkannya. Semuanya terjadi lagi, seperti saat SMA dulu. Tapi aku tidak bisa mengakhirinya dengan cara yang sama. Diagnosaku sama tapi kejadiannya berbeda, tentu saja pengobatannya pun harus berbeda.
He used me!
Itulah tagline ku sekarang. Setidaknya selama liburan ini agar aku tidak terpuruk di pengharapan yang dalam. Kalimat yang kuharap dapat membuatku membencinya. Menimbulkan rasa benci yang dapat menetralisir setiap desiran cinta yang mengalir untuknya. Rasa benci yang dapat menghitamkan setiap putih yang tampak darinya. Sedikit berhasil. Ya. Sedikit saja, karena kalimat itu tidak akan ada apa-apanya lagi ketika kami bertemu lagi saat UAS nanti. Mana bisa aku serta merta menuduhnya telah memanfaatkanku sementara dia tidak tahu apa-apa.
Saat aku dan dia bertemu lagi nanti, tidak ada yang terjadi. Aku akan kembali berharap, dengan begitu aku merasa bahagia. Aku merasa segar kembali karena telah menenggak tetesan harapan yang membuat hidupku bergairah setiap harinya.
***
Aku memetik senar ke empat gitarku. Kemudian memutar kenop untuk mengencangkan regangannya sehingga bisa kudapatkan nada yang tepat.
Teng! Ini dia. Sempurna. Jreng~
Kupetik kunci nada pertama dari lagu yang ingin kunyanyikan. Sebuah lagu yang setiap kunyanyikan, aku selalu membayangkan dia ada di hadapanku dan mendengarkan, meresapi setiap lirik cinta penuh makna yang sepenuhnya kupersembahkan untuknya.
Mungkinkah kau tahu
Rasa cinta yang kini membara
Dan masih tersimpan
Dalam lubuk jiwa
Dan lagi-lagi rasa gelisah ini muncul. Gundah gulana. Tapi aku menikmatinya. Gelora kasmaran yang menggetarkan hati ini membuatku ingin terus melanjutkan hidup. Membuatku merasa ada sesuatu yang harus kuraih di dunia ini. Benar-benar harus kuraih sebisaku.
Aku kembali membayangkan dia ada di hadapanku sekarang. Duduk di kursi belajarku, menghadap kasur dan menatapku dengan tatapan lembut dan dalam pada diriku yang duduk di tepian kasur. Tersenyum dengan senyumannya yang juara itu, memercikkan kebahagiaan yang menusuk langsung ke dalam hatiku.
Ingin kunyatakan
Lewat kata yang mesra untukmu
Namun ku tak kuasa
Untuk melakukannya
Bait favoritku dari lagu ini. Benar-benar mencerminkan keadaanku saat ini. Sungguh, sebenarnya hati ini ingin mengatakan bahwa aku menyukainya, sangat. Tapi aku tidak mungkin melakukan hal itu. Aku lebih baik menahannya sendiri meskipun kadang membuatku sakit sendiri, seperti saat ini. Tapi bila kuungkapkan semuanya, apakah setelahnya akan berjalan biasa saja? Terlalu banyak yang kukorbankan bila aku melakukannya. Lebih baik aku memendam perasaan ini sendiri dan masih bisa bermain dengannya, daripada aku jujuru akan segalanya tapi akhirnya malah membuat semuanya berantakan.
Aku masuk pada bait dimana biasanya aku menitikkan air mata sendiri. Bagian lagi dimana aku benar-benar merasakan kehadiran dirinya di hadapanku. Mendengarkan setiap petikan gitar dan lirik lagu yang kubawakan. Agar dia percaya bahwa aku bersungguh-sungguh.
Mungkin hanya lewat lagu ini
Akan kunyatakan rasa
Cintaku padamu rinduku padamu
Tak bertepi
Mungkin hanya sebuah lagu ini
Yang selalu akan kunyanyikan
Sebagai tanda betapa aku
Inginkan kamu
Oh, seandainya dia benar-benar ada di hadapanku saat ini. Apa dia dapat merasakan apa yang ingin kucoba sampaikan? Aku tidak yakin. Aku sangat ingin berharap, tapi sekarang bukan saatnya untuk berharap. Aku tidak akan bertemu dengannya sampai hari Senin kedua setelah tahun baru. Kurasa aku takkan kuat bertahan dengan semua pengharapan ini selama itu.
Ah, kenapa aku tidak mengajaknya pergi bersama saja? Maksudku, pergi sebagai seorang teman, menghabiskan waktu bersama untuk bermain dan ngobrol. Berdua saja tidak masalah, malah seringkali dia yang mengajak untuk pergi berdua saja.
“Gue ajak Inu dulu ya,” kataku tempo hari ketika dia mengajakku pergi ke toko buku.
“Ngapain? Berdua aja udah. Kalau Inu ikut dia naik motor siapa?”
“Satu motor bertiga gak pa-pa kali. Kan deket,” kataku bersikeras.
“Jangan ah, ntar tiba-tiba ada polisi ditilang deh,” katanya. Yasudah aku menurut saja, toh aku cuma diboncengi. Akhirnya pergilah kami berdua ke toko buku.
Sebelumnya juga dia pernah berkeras untuk pergi berdua saja untuk sekedar makan siang.
“Gak nunggu yang lain?” tanyaku ketika dia mengajakku makan di kantin kampus saat ada semacam acara Pensi di halaman depan kampus.
“Gue laper banget nih. Kita berdua aja yuk makan duluan,” pintanya lagi, tangannya memegang perut, entah betulan atau hanya mendramatisir.
“Tapi ntar dianggep gak setia kawan lagi.”
“Ah lu, Bel. Lu gak setia kawan kalo biarin gue kelaperan begini,” kata-katanya mulai memaksa. Lalu dia mendorongku dari belakang, memegang kedua belah bahuku seolah sedang mengendarai motor. Ketika kami harus belok kiri, dia mendorong bahu kananku dan aku berbelok. Saat akan belok kanan, dia mendorong bahu kiriku lebih ke depan. Aku tersenyum sendiri karena kelakuan bodohnya. Tapi aku tahu senyuman itu punya makna lain, aku bahagia bisa menghabiskan waktu berdua saja dengannya.
Ya hanya berdua. Seperti malam itu.
Aku benar-benar dibuat salah tingkah olehnya. Setelah usai acara syukuran rumah baru ku ini, dan semua teman-teman dekatku di kampus hadir. Tentu saja mereka hadir, makan-makan gratis, siapa mahasiswa kos-an yang akan menolaknya? Saat acara berakhir, semuanya bersiap pulang. Termasuk dia. Tapi Tuhan sepertinya punya kehendak lain untuknya.
Motornya mendadak tidak bisa dinyalakan. Hampir sejam aku dan teman-temanku membantu mengecek kenapa motornya tidak mau hidup. Karena takut sampai kos-an terlalu larut, teman-teman yang lain pamit pulang duluan, sementara dia memutuskan untuk menginap. Ya, menginap di rumahku, di kamar baruku.
“Ini kamar belum ada yang merawanin kan?” tanyanya sambil menggantung jaketnya yang tadi dikenakannya.
“Udah lah. Sama gue,” jawabku.
“Ya maksudnya selain lu, Bel. Haha.” Dia terkekeh sendiri.
“Maksud lu apa?” kataku menanggapi guyonannya yang tidak jelas. Seperti biasanya. Mungkin hanya dia dan Tuhan yang tahu maksud sebenarnya.
Malam itu kami berdua langsung tidur. Satu ranjang, dibatasi bantal guling yang kuletakkan di antara kami berdua.
“Gue gak bakal perkosa lu kok. Pake dibarikade segala,” ledeknya saat aku melakukannya.
“Dih apaan sih lu. Lu pilih gue barikade apa tidur di sofa nih?” ancamku.
“Disini lah, mana enak di sofa,” balasnya.
“Yaudah nurut yak. Kan gue tuan rumahnya.”
“Delapan-enam, kapten!” serunya.
Aku hanya menghela nafas mendengarnya. Kode lagi? Ah bosan juga lama-lama kalu benar semua ini adalah kode, tanda bahwa dia sama denganku. Dan dia menyukaiku.
Tidak! Aku melakukannya lagi. Mengharapkan sesuatu yang tidak bisa kuharapkan. Tidak ada jaminan bahwa harapan itu akan terwujud, dan bila sudah tidak terwujud, nantinya aku sendiri yang nelangsa dibuatnya.
Aku memutuskan untuk tidur, meskipun saat itu aku membayangkan adegan dari film Love of Siam. Saat Tong dan Mew saling mengeluhkan kehidupan mereka. Saat mereka saling menyemangati satu sama lain. Saat Mew meringkuk dalam rangkulan hangat Tong. Bila bisa terjadi, aku berharap aku jadi Mew.
Tapi aku tidak bisa benar-benar tidur malam itu. Mungkin setiap satu jam sekali aku terbangun, kemudian memeriksa orang yang tidur di sampingku. Dia masih tidur disana. Aku memastikan bahwa semuanya bukan mimpi. Semua ini nyata. Dia benar-benar ada disini, di kamarku, dan tidur pulas dengan ketampanannya yang tidak berkurang sedikitpun.
Matanya yang kecil, meskipun dia bukan keturunan cina. Hidungnya yang kecil dan mancung, bibirnya yang merah, dan brewok tipis di selasar pipinya yang membuatku benar-benar jatuh hati padanya. Saat bangun kesekian kalinya, aku membuka mata saat wajahku menghadap padanya, dan dia wajahnya menghadap padaku. Aku tersenyum lagi. Meskipun tidak ada hal spesial yang kami lakukan malam ini. Berdua saja dengannya dalam keheningan malam, memandangi wajahnya yang begitu tenang, sudah cukup untuk membuatku bahagia.
Saat aku bangun lagi untuk kesekian kalinya, aku melihat sudah jam dua pagi. Guling barikadeku sudah tidak di tempatnya, entah hilang kemana. Dia tidur terlentang sempurna menghadap langit-langit kamar. Tangan kanannya dibiarkan bebas berada di tempat guling tadi semestinya berada.
Suatu hal mendorongku untuk menyentuh tangannya. Tangan kiriku bergerak perlahan dan mulai menyentuh lembut jemarinya. Halus. Aku benar-benar merasakan adrenalin cinta mengalir saat aku melakukan hal itu. Sesuatu yang sebenarnya tak pantas. Saat aku menyadari apa akibat dari sekedar menyentuh tangan ini, aku segera menarik tangan kiriku dan berguling ke kanan memunggunginya. Aku memejamkan lagi. Kupaksakan untuk tidur.
Itu malam paling random yang pernah kualami. Semuanya terjadi begitu saja. Semuanya jadi aneh karena dia. Karena aku suka dia.
Saat aku selesai menyanyikan sekali lagi bait reffrain dan mengakhiri petikan gitarku, pintu kamarku diketuk.
“Den. Makan malam. Tuan dan nyonya sudah menunggu di ruang makan,” ujar pembantuku. Pas sekali waktunya, ketika aku selesai bernyanyi dia mengetuk pintu kamar. Atau jangan-jangan sebenarnya dia sudah mengetuk dari tadi saat aku sedang bernyanyi, tapi aku tidak dengar karena terlalu menghayati lagu yang kubawakan? Entahlah. Bisa jadi.
“Iya, Bi. Sebentar lagi Ibel turun,” seruku membalas.
Aku langsung bangkit, meletakkan gitarku di gantungannya seperti sedia kala. Sebelum aku meninggalkan kamar, kulihat lagi kasurku. Disana, dia pernah tidur di kasur itu. Seandainya dia tahu betapa bahagianya diriku malam itu. Berdua saja dengannya aku bahagia. Tapi kesepian ini sungguh menyiksa.
**
kurang banyak, masih narasi mulu (˘˛˘")
mention kalo update
baca chapter 1 aja rasanya udah kyk dijejelin makanan sepanci
Aku berlari kecil meniti tangga ke lantai bawah. Setibanya di ruang makan, kulihat mama dan papa sudah ada disana. Mereka tersenyum melihat kehadiranku.
“Gimana liburannya?” tanya papa saat aku baru duduk. Pertanyaan basa-basi, sekedar mencairkan suasana. Liburan apanya?
“Bosan, Pa,” jawabku jujur, tapi dengan nada yang dikontrol supaya tidak terdengar kesal atau marah.
“Biar gak bosan, bagaimana kalau besok kamu ikut Mama?” tanya mama. Aku merasakan sesuatu yang sepertinya sudah direncanakan. Baiklah, aku ikuti saja permainan mereka.
“Kemana?”
Mama tidak langsung menjawab, dia menarik secarik kertas yang ada di samping piringnya. “Taraa! Kita ke Singapura besok!” seru mama bersemangat sambil menunjukkan cetakan tiket pesawat terbang di tangannya.
“Whoa!” aku ikut berseru. Sudah tidak kaget sih, seperti dugaanku sebenarnya. Kalau ada kegaitan jalan-jalan mendadak biasanya mama atau papa sudah membeli tiket untukku terlebih dahulu. Dengan begitu aku tidak punya alasan untuk menolak. Mereka tahu aku tidak suka membuat mereka kecewa, dan mereka sering memanfaatkan kelemahanku itu. “Sampai kapan, Ma?” tanyaku kemudian.
“Rabu minggu depan kita pulang. Jadi kamu masih ada waktu buat persiapan UAS,” jawab mama. Begitu sadar piringku masih kosong, mama langsung mengambilnya dan menciduk beberapa sendok nasi dan lauk.
“Oke,” balasku mantap.
Setelah mama mengembalikan piringku ke tempatnya semula, aku mulai santap malam bersama dengan kedua orang tuaku. Hal yang sangat jarang kami lakukan karena mama dan papa orang sibuk, sementara sekarang aku hanya pulang saat ada libur kuliah saja. Sabtu-minggu pun jarang pulang karena malas.
Mama kemudian bercerita tentang apa saja yang akan dilakukannya di Singapura. Ya, dilakukannya, bukan yang akan kami lakukan. Ternyata mama akan meresmikan butik barunya disana dan akan memantau kegiatan butiknya selama seminggu. Setelah itu temannya lah yang akan menjadi manager di butiknya tersebut. Temannya orang Singapura, tepatnya orang Indonesia yang menikah dengan warga sana dan menjadi warga negara Singapura.
Lalu bagaimana denganku? Sebenarnya bisa saja aku jalan-jalan sendiri di negeri singa itu, asal mama memberi uang saku yang cukup. Haha. Tapi kali ini mama memberiku garansi bahwa aku tidak akan sendirian disana. Anak temannya mama yang akan jadi manager butik akan menemaninya kemanapun yang aku mau, karena kebetulan dia juga sedang libur perkuliahan. Yasudah aku terima saja. Baguslah jadi ada teman ngobrol.
“Dan papa punya sesuatu buat kalian,” kata papa saat kami bertiga sudah selesai makan.
“Apa, Pa?” tanya mama penasaran, benar-benar penasaran, bukan pura-pura. Berarti ini tidak ada dalam rencana, papa hendak memberi sureprise juga untuk mama.
“Papa punya voucher menginap di Marina Bay Sands untuk dua malam,” jawab papa.
“Whaa!” mama langsung histeris. “Ok. Kita pakai di dua malam terakhir saja ya, Bel,” mama langsung menentukan nasib voucher hotel itu. “Kalau untuk malam tahun baru, pasti sudah full-booked,” imbuh mama sebelum aku atau papa bertanya mengapa harus begitu. Papa hanya tersenyum, aku juga tersenyum melihat mama.
“Aku boleh main di kasinonya, Pa?” tanyaku, dengan maksud bercanda sebenarnya.
“Ibel!” mama bersuara sebelum papa membuka mulutnya. “Belum cukup umur!” tegasnya.
“Haha, Ibel cuma bercanda kali, Ma,” aku berseloroh. Papa langsung tertawa.
Selesai makan aku langsung disuruh mama untuk langsung packing baju yang akan dibawa. Satu koper sepertinya cukup untuk satu minggu. Apalagi disana aku dan mama akan menginap di rumah temannya mama itu. Sebelum packing, aku sempatkan untuk update status twitter dan BBM. Hitung-hitung hemat tenaga kalau tiba-tiba saat sudah sampai sana ada yang nanya aku ada dimana.
Saat aku memasukkan beberapa baju ke dalam koper, ponselku beberapa kali berbunyi. Dari teman-temanku yang kirim BBM atau mention di twitter masalah liburan dadak ke Singapura. Aku biarkan, akan kubalas nanti saja. Tapi ketika dia mengirim chat BBM padaku, aku tidak bisa menunda untuk membalasnya. Ah selalu begitu.
Dulu pernah aku sengaja tidak langsung membalas chat-nya, karena sebelumnya membutuhkan waktu yang lama untuk dia membalas chat-ku. Hitung-hitung balas dendam kecil-kecilan. Tapi sekarang situasinya tidak seperti dulu. Aku rindu padanya, dan akhirnya aku punya kesempatan untuk ngobrol, meskipun hanya sekedar chating.
‘Ciyee yang mau liburan..’ begitu katanya di chat. Aku tersenyum sendiri, kutinggalkan dulu kegiatanku memasukkan baju ke dalam koper.
‘Haha. Dadakan juga ini.’ Begitu aku membalasnya.
‘Ya tetep aja enak, liburan. Keluar negeri lagi. ’
Aku membalas lagi, ‘makanya jalan-jalan lah, jangan ngedekem di kosan doank.’
‘Waktu itu gue ajakin naik gunung, lu gak mau.’
Aku tertawa kecil. Memang sebelum liburan ini beberapa teman sekelas mencetuskan ide untuk naik gunung. Tidak jauh, untuk pemula cukup Gunung Gede di Jawa Barat saja. Tapi aku dari awal tidak suka dengan ide itu. Alasanku? Malas. Naik gunung menurutku hanya bikin capek. Memang semua pengorbanan akan terbayar ketika sampai puncaknya, tapi tetap saja. Malas. Mending jalan-jalan keliling kota atau ke pantai.
“Ayo lah Bel, sekali-sekali naik gunung. Gak bosen apa sama macetnya Jakarta?” dia mencoba merayuku saat itu, saat kami sedang berdua saja di kamar kosku. Sebelumnya aku telah menolak jakan naik gunungnya untuk yang beberapa kali.
“Males ah. Capek. Lu tahu sendiri kan gue ini gampang sakit,” kataku tetap keukeuh. Biarpun dia yang memintanya tetap saja aku tidak bisa menerima ajakan itu. Membayangkan melakukan pendakian di hutan belantara, dan berbaris menyusuri jalan setapak dengan batang pohon di tangan seperti petualang sungguhan, tidak ada yang menarik menurutku. Aku konsisten untuk tidak ikutan kalau mereka benar-benar akan naik gunung saat libur tenang natal dan tahun baru.
“Ya elah. Kan ada gue, Bel,” katanya masih memaksa.
Dalam hati aku berkata, ‘ya kalau ada lu kenapa emang? Lu mau kelonin gue kalo gue kedinginan di atas gunung?’ haha. Aku jadi berkhayal yang tidak-tidak. Tapi jawaban yang kulontarkan tetap saja. “Gak ah. Serius gue males banget kalau naik gunung.”
“Huft. Yaudah deh, kalau lu gak ikut, gue juga gak jadi ikut,” tuturnya sambil membuang muka.
Aku kaget mendengar jawabannya. Terkesan bahwa aku lah yang menjadi tujuannya untuk pergi naik gunung. Hati sih berbunga-bunga, serasa melayang ke angkasa. Tapi aku tidak ingin melayang terlalu tinggi, karena semakin tinggi akan semakin sakit kalau jatuh.
“Lah bisa begitu?” tanyaku.
“Bisalah,” katanya sedikit cetus.
“Ciyee ngambek,” aku meledeknya. Aku tertawa sendiri karenanya. Mukanya yang sedang ngambek, atau pura-pura ngambek begitu sangat lucu. Apalagi gayanya yang selalu mencoba membuang muka dariku, seolah sedang marah padaku.
“Apaan sih, Bel?” ujarnya, datar. Duh, beneran ngambek kali ya ini anak. Tapi masa sih? Cuma karena hal sepele bisa ngambek begitu. Paling hanya bohongan. Pikirku saat itu.
“Yaudah, lu ngambek begitu juga gak bakal bikin gue pengen ikut naik gunung kali. Percuma,” kataku lalu langsung tiduran di kasur, lalu pura-pura sibuk buka twitter di ponselku.
“Rese lu,” katanya sambil mendorong pelan ponsel yang sedang kupegang. Untung tidak jatuh mengenai mukaku. Aku kemudian tertawa puas karena berhasil mengerjainya. Tapi dia seperti orang yang tidak kenal menyerah. Tiba-tiba di tiduran di sampingku, di kasur kos-anku yang lebarnya hanya 100 centimeter, ukuran untuk satu orang. Otomatis bahu kami saling beradu. “Ayolah, Bel,” rayunya lagi sambil menggerak-gerakkan bahunya menyentuhku.
Duh, aku langsung jadi salah tingkah begini. Tingkahnya membuatku tidak konsen lagi membaca timeline twitter di ponselku. “Dih, lu kenapa sih pengen banget gue ikut?” tanyaku heran. Aku meletakkan ponselku di atas perut. Sudah tidak mood main twitter karena ada dia tiduran di sampingku. Membuatku hanya ingin merasakan kehangatannya dari tempatku berbaring.
“Ya karena lu alasan gue pengen ikut naik gunung, Bel,” tuturnya pelan sambil menatap langit-langit kamar. Kemudian kepalanya menengok ke kanan, melihat ke arahku.
Aku menatap balik padanya, menatap matanya untuk melihat apakah dia mengatakan kalimat indah tadi dengan sungguh-sungguh, jujur dari hatinya. Hati ini berdesir hebat ketika mata kami bertemu. “Kenapa gue?” aku bertanya dengan menatap lurus pada matanya.
Dia diam. Menghela nafas sebentar. Lalu dia kembali menatap langit-langit kamar. “Karena ...,” aku menunggu jawabannya dengan saksama, mata ini tidak lepas menatapi mulutnya yang perlahan-lahan mulai terbuka untuk bicara, “... gue tahu lu takut gelap. Jadi gue bisa puas ngerjain lu pas di gunung nanti, Bel!” katanya diiringi dengan gelak tawa. Lalu dia langsung kabur dari kasurku sebelum aku jadi beringas karena ledekannya itu.
“Kampret!” erangku.
“Hahaha!” dia masih tertawa, belum puas.
Aku menatapnya kesal. Rese. Antiklimaks banget pembicaraan barusan. Padahal aku sudah membayangkan akhir yang bahagia. Huh, sepertinya tidak ada gunanya berharap padanya. Berharap atas perasaanku ini, karena rasanya aku tidak mungkin bisa memilikinya. Bahkan harapan dia sama denganku pun tidak mungkin jadi kenyataan. DLH. Level pertama pun tidak lulus.
Dan pada akhirnya, acara naik gunung pun batal karena dia serius tidak ikut karena aku tidak ikutan. Teman yang lain sudah memaksanya namun sepertinya dia sudah menyerah untuk memaksaku, makanya dia bilang tidak jadi ikut naik gunung. Aku merasa beruntung menolak ajakan itu, karena kalau aku naik gunung, tentu saja mama tidak akan mengajakku ke Singapura. Aku memang paling suka jalan-jalan menyusuri kota dan ke pantai. Gunung? Ogah.
Ping! Dia mengirim ping sebagai tanda agar aku segera menjawab. Aku kembali dari lamunanku.
‘Haha udahlah jangan bahas itu lagi,’ balasku sambil tersenyum simpul.
‘Yaudah deh. Oleh-oleh ya, Bel! Wajib!’
‘Ebuset, gue aja belum berangkat udah ditagih oleh-oleh. -__-‘
‘Ya gue mesen duluan gitu lho, Bel. ’
‘Kalo inget yak. ’ aku tersenyum jahil. Biasanya kalau keinginannya tidak langsung aku turuti, dia langsung menyek-menyek seperti anak kecil. Entah hanya padaku saja atau pada orang lain juga begitu.
‘Ah jangan gitu lah sama temen.’
‘Teman doang kan?’
‘Teman tapi mesra ({})’
Duh. Mulai lagi nih kodenya? Aku sih tersenyum saja melihat balasannya. Tapi kalau dia mulai bertingkah sok mesra begitu saat aku jauh dari dia, bisa-bisa aku galau lagi, sakit hati lagi, karena rindu di hatiku semakin menjadi-jadi.
‘Macacih?’ aku membalas dengan gaya yang sama.
‘Iya, ciyus deh Bel. Haha.’
‘Miapah?’
‘Miamohh.’ Balasnya. Ok, fixed! Alaynya sudah hampir melewati batas. Butuh waktu lima belas detik bagiku untuk mengerti maksud balasan BBM-nya barusan. Setelahnya baru aku mengerti kalau dalam bahasa bakunya adalah demi kamu.
‘Alay!’ aku meledek.
‘Bodo. Pokoknya oleh-oleh, Bel! Lu gak boleh balik ke kosan kalau gak bawa oleh-oleh. Ntar gue komporin ibu kosnya. Hahaha.’ Anjir! Terencana sekali ancamannya. Yasudah deh ngalah saja. Kalau tidak, sampai malam akan terus BBM-an dan besok pagi bakal kocar-kacir karena belum packing baju.
‘Iya deh iya.’
‘Maaci Ibel.’
Aku tidak membalas. Huh dasar bocah alay. Anak kelewat gaul. Jarang sih dia begitu, dan biasanya hanya di BBM saja. Sementara kalau di dunia nyata, hampir tidak pernah. Bukan berarti sama sekali tidak pernah. Suatu ketika aku sempat memancing dengan gaya kalimat sok unyu begitu dan dia menanggapi. Tapi situasinya saat itu kami sedang berdua saja. Entah kalau ada orang lain dia akan tetap menanggapi atau tidak.
Kulanjutkan kegiatanku yang sempat terhenti karena chat darinya. Packing. Saat selesai, aku langsung memutuskan untuk tidur. Sebelum tidur kulihat ponselku dan ternyata ada BBM masuk dari dia. Dia menulis, ‘have a nice holiday ya, Bel. ’. Aku tersenyum membacanya. Tapi tidak kubalas karena aku tidak ingin membuka percakapan saat aku ingin tidur. Sekarang sudah setengah sepuluh malam, sementara besok harus berangkat pagi ke bandara.
Sebelum memejamkan mata aku merasakan hal yang beda. Ya. Hatiku. Rasanya lebih tenang, lebih lega, sehingga membuatku lebih bisa bernafas dengan normal. Apakah aku berhasil mengalihkan semua kegalauanku pada perjalanan ke Singapura besok? Atau karena aku bisa jadi lebih baik karena tadi aku dan dia saling BBM-an? Sehingga rasa rindu ini jadi sedikit berkurang. Entahlah. Yang pasti aku merasa lebih baik sekarang. Tidak gelisah sendiri sehingga harus memeluk guling seerat-eratnya padahal guling itu tidak akan kabur kemana-mana. Malam ini aku akan tidak nyenyak dan tenang. Dan sebelum aku benar-benar tidur, aku update personal message di BBM.
Thanks.
Status ambigu. Antara terima kasih atas sureprise jalan-jalan dari mama atau karena kehadirannya di BBM yang sedikit mengobati kerinduanku.
**
@alexislexis @ryanjombang @Zhar12 @ridhosaputra @earthymooned @jacksmile
Emang begitu gaya ceritanya kakak. Makanya pake sudut pandang orang pertama.
Makasih ya, guys. Makin semangat nih nulisnya. )
) sepanci??